Senin, 28 Mei 2007

Yunus Bin Ubaid & Sikapnya Terhadap Hutang

Tabi'in yang agung ini, Yunus bin Ubaid Rahimahullah tidak memperbolehkan seorang pedagang yang mengambil barang lalu menunda-nunda pembayaran. Beliau menilai bahwa penundaan pembayaran dengan tujuan untuk dikembangkan lagi, padahal sudah jatuh tempo pembayaran dan ia mampu membayarnya adalah sebagai tindakan pencurian.

Beliau berkata: "Tidak ada pencuri yang lebih jahat menurutku daripada seseorang yang mendatangi seorang muslim lalu dia membeli dagangannya dan ditangguhkan pembayarannya hingga waktu tertentu, namun tatkala telah datang waktu yang dijanjikan, dia masih ke sana kemari mengembangkan barang tadi untuk meraup untung. Demi Allah tiada dirham yang didapatkan darinya melainkan sesuatu yang haram."

Yunus bin Ubaid tidak hanya melihat dari batasan-batasan dha­hir dan bentuk hukumnya saja, namun juga melihat dari sisi tujuan, niat dan tendensi yang ditunjukkan dalam perilaku. Mengapakah dia menunda pembayaran tatkala bermu'amalah dengan seorang muslim padahal dia telah dipercaya untuk menjualkan dagangan­nya, demi mendapatkan keuntungan dan mendapatkan manfaat darinya hingga waktu yang telah disepakati, lalu tatkala jatuh tempo dia tidak bersegera membayarnya padahal mampu? Lalu dia masih berambisi untuk menambah keuntungan dengan mengembangkan uang yang semestinya dia bayarkan kepada pemilik barang.Lanjut....

Selasa, 24 April 2007

Ar-Rabi’ bin Khaitsam

Inilah kisah seorang tabi’in yang mulia bernama Ar-Rabi’ bin Khaitsam. Beberapa orang ingin memfitnahnya untuk menghalanginya dari mendekatkan diri kepada Allah. Mereka ingin memfitnahnya melalui wanita.

Mereka mendatangi seorang wanita yang sangat cantik. Mereka menjanjikan hadiah sebesar 1000 dirham jika wanita ini berhasil memfitnah Ar-Rabi’ bin Khaitsam... Begitulah, mereka selalu berusaha menggunakan wanita-wanita jalang dan memperalat wanita-wanita ini untuk tujuan bermaksiat kepada Allah.

Wanita itu kemudian menyetujui permintaan mereka...
Maka dia memakai pakaian terindah, parfum yang terbaik, dan kemudian menunggu Ar-Rabi’ bin Khaitsam disekitar masjid untuk kemudian menggodanya.Lanjut....

Ar-Rabi’ saat itu sedang menuju masjid, beliau berjalan melangkahkan kakinya kearah Baitullah. Di tengah-tengah perjalanan muncullah wanita tersebut menghadangnya, dengan busana yang mengundang syahwat, serta parfum yang menyengat. Benar-benar sebuah fitnah yang besar!!

Sabtu, 24 Februari 2007

Al-Qosim Bin Muhammad Bin Abu Bakar Ash-Shiddiq (Bag 2)

Menginjak remaja, cucu Abu Bakar ini telah hafal Kitabullah dan menimba hadits-hadits dari bibinya, Aisyah Rodhiallahu 'anha sebanyak yang dike­hendaki Allah. Dia tekun mendatangi Al-Haram Nabawi dan duduk dalam halaqah-halaqah ilmu yang terhampar di setiap sudut-sudut masjid laksana bintang-bintang gemerlap yang bertaburan di langit yang terang.
Beliau menghadiri majlisnya Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin Khabbab, Rafi' bin Khudaij, Aslam pembantu Umar bin Khathab dan sebagainya. Hingga pada gilirannya beliau menjadi imam mujtahid dan menjelma menjadi manusia yang paling pandai dalam hal sunnah pada zamannya, di mana ketika itu seseorang belumlah dianggap sebagai tokoh sebelum dia mendalami sunnah-sunnah Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam.Lanjut......

Al-Qosim Bin Muhammad Bin Abu Bakar Ash-Shiddiq (Bag 1)

Sudah sampaikah berita kepada Anda tentang tabi'in yang agung ini? Seorang pemuda yang terkumpul pada dirinya pujian dari segala sisi, tak satupun pujian luput darinya.
Ayahanda beliau adalah Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ibunya adalah puteri Yazdajir, raja Persia yang terakhir. Sedangkan bibinya dari pihak ayah adalah Aisyah Rodhiallahu 'anha, Ummul Mukminin. Di samping itu, di atas kepalanya telah bertengger mahkota takwa dan ilmu. Adakah Anda masih mengira ada kemenangan yang lebih tinggi dari kemenangan yang semua orang bersaing dan berlomba men­dapatkannya ini? 

Dialah Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, satu dari tujuh fuqaha Madinah, yang paling utama ilmunya pada zamannya, paling tajam kecerdasan otaknya dan paling bagus sifat wara'­nya. Marilah kita buka lembaran hidupnya dari awal.Lanjut....

Selasa, 30 Januari 2007

Hukum Pernikahan Anak yang belum Baligh

Adapun hukum menikahkan wanita yang belum sampai usia baligh (anak-anak) maka jumhur ulama termasuk para imam yang empat, bahkan ibnul Mundzir menganggapnya sebagai ijma adalah boleh menikahkan anak wanita yang masih kecil dengan yang sekufu’ (sederajat/sepadan), berdasarkan dalil-dalil berikut :

  1. Firman Allah swt, ”Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath Tholaq : 4) Sesungguhnya Allah swt membatasi iddah seorang anak kecil yang belum mendapatkan haidh adalah 3 bulan seperti wanita-wanita yang monopouse. Dan tidak akan ada iddah kecuali setelah dia diceraikan. Dan ayat ini menunjukkan wanita itu menikah dan diceraikan tanpa izin darinya.
  2. Perintah menikahkan para wanita, di dalam firman-Nya, ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An Nuur : 32) Hamba-hamba sahaya perempuan ini bisa yang sudah dewasa atau yang masih kecil.
  3. Pernikahan Nabi saw dengan Aisyah sedangkan dia masih kecil, dia mengatakan, ”Nabi saw menikahiku sedangkan aku masih berusia 6 tahun dan menggauliku pada usiaku 9 tahun.” (Muttafaq Alaih). Abu Bakar lah yang menikahkannya. Begitu juga Rasulullah saw telah menikahkan putri pamannya, Hamzah, dengan anak dari Abi Salamah yang kedua-duanya masih anak-anak.
  4. Dari Atsar Sahabat; Ali ra telah menikahkan putrinya Ummu Kaltsum pada saat dia masih kecil dengan Urwah bin Zubeir. Urwah bin Zubeir telah menikahkan putri dari saudara perempuannya dengan anak laki-laki dari saudara laki-lakinya sedangkan keduanya masih anak-anak.

Meskipun menikahi anak pada usia belum baligh diperbolehkan secara ijma’, namun demikian tetaplah memperhatikan batas usia minimal baligh kebanyakan wanita di daerah tersebut dan juga kesiapan dia baik dari aspek kesehatan maupun psikologi.

Adapun yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan jumhur ulama atau orang-orang yang mengatakan boleh menikahkan anak-anak wanita yang masih kecil adalah pada siapa yang berhak menikahkannya :

  1. Para ulama madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat tidak boleh menikahkannya kecuali ayahnya atau orang-orang yang diberi wasiat untuknya atau hakim. Hal itu dikarenakan terpenuhinya rasa kasih sayang seorang ayah dan kecintaan yang sesungguhnya demi kemaslahatan anaknya. Sedangkan Hakim dan orang yang diberi wasiat oleh ayahnya adalah pada posisi seperti ayahnya karena tidak ada selain mereka yang berhak memperlakukan harta seorang anak yang masih kecil demi kemaslahatannya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Anak yatim perlu dimintakan izinnya dan jika dia diam maka itulah izinnya dan jika dia menolak maka tidak boleh menikahkannya.” (HR. Imam yang lima kecuali Ibnu Majah)
  2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat diperbolehkan seorang ayah atau kakek atau yang lainnya dari kalangan ashobah untuk menikahkan seorang anak laki-laki atau anak perempuan yang masih kecil, berdasarkan firman Allah swt,”Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya).” (QS. An Nisa : 3)
  3. Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan selain ayahnya dan kakeknya untuk menikahkan anak laki-laki atau anak perempuan yang masih kecil, berdasarkan dalil dari ad Daruquthni,”Seorang janda berhak atas dirinya daripada walinya, seorang perawan dinikahkan oleh ayahnya.” Dan juga yang diriwayatkan Imam Muslim,”Seorang perawan hendaklah diminta persetujuannya oleh ayahnya.” Sedangkan kakek pada posisi seperti ayah ketika ayahnya tidak ada karena ia memiliki hak perwalian dan ashobah seperti ayah.
    (al Fiqhul islami wa Adillatuhu juz IX hal 6682 – 6685)

Wallahu A’lam

Kamis, 11 Januari 2007

Batas Usia Minimal dalam Pernikahan

Baiti Jannati. Pernikahan adalah suatu bentuk ibadah yang disakralkan dalam Islam. Pernikahan bukan hanya sekedar legalisasi hubungan seksual semata. Pernikahan bukanlah perampasan hak anak. Pernikahan adalah perpindahan perwalian dari seorang ayah kepada seorang suami. Ayah menyerahkan tanggung jawab mengasihi, menafkahi, melindungi, mendidik, dan memenuhi semua hak anak perempuannya kepada laki-laki yang ia percayai mampu memikul tanggung jawab tersebut. Islam membolehkan menikahkan anak yang sudah baligh atau belum baligh tapi sudah tamyiz (sudah bisa menyatakan keinginannya). Seorang anak yang memasuki pernikahan sesuai dengan syariat Islam tetap terpenuhi hak-haknya. Anak yang belum baligh belum dituntut tapi dipersiapkan untuk mampu melaksanakan semua kewajibannya sebagai seorang istri. Sementara yang sudah baligh mendapatkan hak sekaligus sudah harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri.

Menanggapi kasus upaya mengkriminalkan orang tua Lutfina Ulfa dan Pujiono Cahyo Widianto yang menikahkan dan menikahi anak di bawah usia 16 tahun, sementara anak yang bersangkutan tidak merasa tertekan dan bahagia dalam pernikahannya, maka :

1. Penetapan batas usia minimal dalam pernikahan perlu dihapuskan karena tidak efektif dalam melindungi anak dan hanya mengkriminalkan orang-orang yang tak bersalah. Orang yang mau bertanggung jawab dalam pernikahan dituding sebagai pelaku kriminal sementara penyeru safe sex (baca: perzinahan) dibiarkan bebas bahkan dianggap sebagai penyelamat.

2. Penetapan usia yang dianggap layak untuk menikah harusnya diserahkan kepada orang tua anak masing-masing. Orang tua adalah pihak yang dikaruniai Allah Sang Pencipta naluri untuk mencintai dan melindungi anak, mengetahui perkembangan anak, dan pihak yang paling menginginkan kebaikan bagi anak.

3. Untuk menghindari dan mengatasi kelemahan orang tua dalam melindungi anak memasuki pernikahan, yang dilakukan negara harusnya adalah:

a. Menerapkan sistem ekonomi dan politik sesuai syariah Islam sehingga mampu mensejahterakan seluruh rakyat, sehingga kemampuan orang tua melindungi anak terjaga dan tidak menyimpang karena tekanan ekonomi.

b. Melakukan pembinaan kepada orang tua yang memiliki kelemahan dalam pengasuhan dan pendidikan anak, sehingga bisa membimbing anak siap memasuki pernikahan.

c. Memastikan akses setiap anak untuk mendapatkan pendidikan, baik kepada anak yang belum atau sudah menikah. Anak harus tahu hak dan kewajiban yang telah Allah tetapkan kepada mereka, dan ke mana mereka harus meminta bantuan ketika orang tua mereka melanggar ketetapan tersebut.

d. Menumbuhsuburkan kontrol sosial masyarakat berdasar standar nilai agama dalam perlindungan dan pendidikan anak.