Jumat, 23 Januari 2009

ANAK KUNCI UNTUK MENGENAL ALLAH




Mengenal diri itu adalah "Anak Kunci" untuk Mengenal Allah.  Hadis ada mengatakan :
MAN 'ARAFA NAFSAHU FAQAD 'ARAFA RABBAHU 
(Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah)
Firman Allah Taala :
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. 41:53)
Tidak ada hal yang melebihi diri sendiri. Jika anda tidak kenal diri sendiri, bagaimana anda hendak tahu hal-hal yang lain?  Yang dimaksudkan dengan Mengenal Diri itu bukanlah mengenal bentuk lahir anda, tubuh, muka, kaki, tangan dan lain-lain anggota anda itu.  karena mengenal semua hal itu tidak akan membawa kita mengenal Allah. Dan bukan pula mengenal perilaku dalam diri anda yaitu bila anda lapar anda makan,  bila dahaga anda minum, bila marah anda memukul dan sebagainya. Jika anda bermaksud demikian, maka binatang itu sama juga dengan anda.  Yang dimaksudkan sebenarnya mengenal diri itu ialah:
Apakah yang ada dalam diri anda itu?
Dari mana anda datang? Kemana anda pergi? Apakah tujuan anda berada dalam dunia fana ini? Apakah sebenarnya bagian dan apakah sebenarnya derita?
Sebagian daripada sifat-sifat anda adalah bercorak kebinatangan.  Sebagian pula bersifat Iblis dan sebagian pula bersifat Malaikat.  Anda hendaklah tahu sifat yang mana perlu ada,  dan yang tidak perlu. Jika anda tidak tahu, maka tidaklah anda tahu di mana letaknya kebahagiaan anda itu.
Kerja binatang ialah makan, tidur dan berkelahi. Jika anda hendak jadi binatang,  buatlah itu saja. Iblis dan syaitan itu sibuk hendak menyesatkan manusia, pandai menipu dan berpura-pura.  
Kalau anda hendak menurut mereka itu,  lakukan sebagaimana kerja­kerja mereka itu. Malaikat sibuk dengan memikir dan memandang Keindahan Ilahi.  Mereka bebas dari sifat-sifat kebinatangan.  
Jika anda ingin bersifat dengan sifat KeMalaikatan, maka berusahalah menuju asal anda itu agar dapat anda mengenali dan menuju pada Allah Yang Maha Tinggi dan bebas dari belenggu hawa nafsu. Sebaiknya hendaklah anda tahu kenapa anda dilengkapi dengan sifat­sifat kebintangan itu.  
A dakah sifat-sifat kebinatangan itu akan menaklukkan anda atau adakah anda menakluki mereka?. Dan dalam perjalanan anda ke atas martabat yang tinggi itu, anda akan gunakan mereka sebagai tunggangan dan sebagai senjata.
Langkah pertama untuk mengenal diri ialah mengenal bahwa anda itu terdiri dari bentuk yang zhohir, yaitu tubuh ;  dan hal yang batin yaitu hati atau Ruh . Yang dimaksudkan dengan "HATI" itu bukanlah daging yang terletak dalam sebelah kiri tubuh.
Yang dimaksudkan dengan "HATI" itu ialah satu hal yang dapat menggunakan semua kekuatan, yang lain itu hanyalah sebagai alat dan kaki tangannya saja.  Pada hakikat hati itu bukan termasuk dalam bidang Alam Nyata(Alam Ijsam) tetapi adalah termasuk dalam Alam Ghaib. Ia datang ke Alam Nyata ini ibarat pengembara yang melawat negeri asing untuk tujuan berniaga dan akhirnya kembali akan kembali juga ke negeri asalnya.  Mengenal hal seperti inilah dan sifat-sifat itulah yang menjadi "Anak Kunci" untuk mengenal Allah. 
Sedikit ide tentang hakikat Hati atau Ruh ini bolehlah didapati dengan memejamkan mata dan melupakan segala hal yang lain kecuali diri sendiri. Dengan cara ini, dia akan dapat melihat tabiat atau keadaan "diri yang tidak terbatas itu". Meninjau lebih dalam tentang Ruh itu adalah dilarang oleh hukum. Dalam Al-Quran ada diterang,
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Bani Israil:85)
Demikianlah sepanjang yang diketahui tentang Ruh itu dan ia adalah mutiara yang tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan ia termasuk dalam "Alam Amar/perintah".  Ia bukanlah tanpa permulaan. Ia ada permulaan dan diciptakan oleh Allah.  
Pengetahuan falsafah yang tepat mengenai Ruh ini bukanlah permulaan yang harus ada dalam perjalanan Agama,  tetapi adalah hasil dari disiplin diri dan berpegang teguh dalam jalan itu,  seperti tersebut di dalam Al-Quran :
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar­benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Al-Ankabut:69)
Untuk menjalankan perjuangan Keruhanian ini,  bagi upaya pengenalan kepada diri dan Tuhan,  maka
Tubuh itu bolehlah diibaratkan sebagai sebuah Kerajaan,
Ruh itu ibarat Raja. 
Pelbagai indera (senses) dan daya (fakulti) itu ibarat satu pasukan tentara.
Aqal itu bisa diibaratkan sebagai Perdana Menteri.
Perasaan itu ibarat Pemungut pajak, perasaan itu terus ingin  merampas dan merampok.
Marah itu ibarat Pegawai Polisi,
marah sentiasa cenderung kepada kekasaran dan kekerasan.

Perasaan dan marah ini perlu ditundukkan di bawah perintah Raja.  Bukan dibunuh atau dimusnahkan karena mereka ada tugas yang perlu mereka jalankan, tetapi jika perasaan dan marah menguasai Aqal, maka tentulah Ruh akan hancur.
Ruh yang membiarkan kekuatan bawah menguasai kekuatan atas adalah ibarat orang orang yang menyerahkan malaikat kepada kekuasaan Anjing atau menyerahkan seorang Muslim ke tangan orang Kafir yang zalim.
Orang yang menumbuh dan memelihara sifat-sifat iblis atau binatang atau Malaikat akan menghasilkan ciri-ciri atau watak yang sepadan dengannya yaitu iblis atau binatang atau Malaikat itu.  
Dan semua sifat-sifat atau ciri-ciri ini akan nampak dengan bentuk­bentuk yang jelas di Hari Pengadilan.
Orang yang menurut hawa nafsu nampak seperti babi,
Orang yang garang dan ganas seperti anjing dan serigala, 
Orang yang suci seperti Malaikat. 

Tujuan disiplin akhlak (moral) ialah untuk membersihkan Hati dari karat-karat hawa nafsu dan amarah, sehingga ia jadi seperti cermin yang bersih yang akan memantulkan Cahaya Allah Subhanahuwa Taala.
Mungkin ada orang bertanya,
"Jika seorang itu telah dijadikan dengan mempunyai sifat-sifat binatang, Iblis dan juga Malaikat,  bagaimanakah kita hendak tahu yang sifat-sifat Malaikat itu adalah sifatnya yang hakiki dan yang lain-lain itu hanya sementara dan bukan sengaja?" 
Jawabannya ialah mutiara atau inti sesuatu makhluk itu ialah dalam sifat-sifat yang paling tinggi yang ada padanya dan khusus baginya.  Misalnya keledai dan kuda adalah dua jenis binatang pembawa barang-barang, tetapi kuda itu dianggap lebih tinggi darjatnya dari keledai karena kuda itu digunakan untuk peperangan.
Jika ia tidak boleh digunakan dalam peperangan,  maka turunlah ke bawah derajatnya kepada derajat binatang pembawa barang-barang. saja.
Begitu juga dengan manusia; daya yang paling tinggi padanya ialah ia bisa berfikir yaitu Aqal.
Dengan pikiran itu dia bisa memikirkan hal-hal Ketuhanan.  
Jika daya berfikir ini yang meliputi dirinya,  maka bila ia mati (bercerai nyawa dari tubuh) , ia akan meninggalkan di belakang semua kecenderungan pada hawa nafsu dan marah,  dan layak duduk bersama dengan Malaikat.
Jika berkenaan dengan sifat-sifat Kebinatangan,  maka manusia itu lebih rendah tarafnya dari binatang,  tetapi Aqal menjadikan manusia itu lebih tinggi tarafnya,  karena Al-Quran ada menerangkan bahwa, 
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. (Luqman:20)  Jika sifat-sifat yang rendah itu menguasai manusia,  maka setelah mati, ia akan memandang terhadap keduniaan dan merindukan  keindahan di dunia saja. 
Ruh manusia yang berakal itu penuh dengan kekuasaan dan pengetahuan yang sangat menakjubkan.
Dengan Ruh Yang Berakal itu manusia dapat menguasai segala cabang ilmu dan Sains.
Dapat mengembara dari bumi ke langit dan balik semula ke bumi dalam sekejap mata.
Dapat memetakan langit dan mengukur jarak antara bintang-bintang. 
Dengan Ruh itu juga manusia dapat menangkap ikan ikan dari laut dan burung-burung dari udara. 
Menundukkan binatang-binatang untuk tunduk kepadanya seperti gajah, unta dan kuda.
Lima indera (pancaindera) manusia itu adalah ibarat lima buah pintu terbuka menghadap ke Alam Nyata (Alam Syahadah) ini.
Lebih ajaib dari itu lagi ialah Hati. Hatinya itu adalah sebuah pintu yang terbuka menghadap ke Alam Arwah (Ruh-ruh) yang ghaib.   
Dalam keadaan tidur,  apabila pintu-pintu dunia tertutup, pintu Hati ini terbuka dan manusia menerima berita atau kesan-kesan dari Alam Ghaib dan kadang-kadang membayangkan hal-hal yang akan datang.  Maka hatinya adalah ibarat cermin yang memantulkan (bayangan) apa yang tergambar di Luh Mahfuz.  
Tetapi meskipun dalam tidur,  pikiran tentang hal-hal keduniaan akan menggelapkan cermin ini. maka gambaran yang diterimanya tidaklah terang.
Setelah lepasnya nyawa dengan tubuh (mati),
Pikiran-pikiran tersebut hilang sirna dan segala sesuatu terlihatlah dalam keadaan yang sebenarnya.
Firman Allah dalam Al-Quran : 
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (Qaaf:22). 

MENGENAL ALLAH SWT 

Satu Hadis Nabi Muhammad SAW. yang masyhur ialah; 
"Siapa yang mengenal dirinya, mengenal ia akan TuhanNya"
Ini berarti dengan mematuhi dan memikirkan tentang dirinya dan sifat-sifatnya, manusia itu bisa sampai mengenal Allah. Tetapi oleh karena banyak juga orang yang memikirkan tentang dirinya tetapi tidak dapat mengenal Tuhan, maka tentulah ada cara-caranya yang khusus bagi mengenal ini. 
Sebenarnya ada dua cara untuk mencapai pengetahuan atau pengenalan ini. Salah satunya sangat sulit dan sukar difahami oleh orang-orang biasa, maka cara yang ini tidak usahlah kita terangkan di sini. Yang satu cara lagi adalah seperti berikut:
Apabila seseorang memikirkan dirinya, dia tahu bahwa ada suatu ketika ia tidak berwujud, seperti tersebut dalam Al-Quran: 
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu sesuatu yang dapat disebut?” (Al Insan:1)
Selanjutnya ia juga tahu bahwa ia dijadikan diri setitik air yang tidak ada akal, pendengar, penglihatan, kepala, tangan, kaki dan sebagainya, dari sini teranglah bahwa walau bagaimanapun seseorang itu mencapai taraf kesempurnaan, tidaklah dapat ia membuat dirinya sendiri meeskipun hanya sehelai rambut.
Kemudian pula jika ia setitik air, alangkah lemahnya ia?
Demikianlah seperti yang kita lihat di bab pertama dulu, didapatinya dalam dirinya kekuasaan, kebijaksanaan dan kecintaannya terhadap Allah terbayang dalam bentuk yang kecil. Jika semua manusia dalam dunia ini berkumpul dan mereka tidak mati, niscaya mereka tidak dapat mengubah dan memperbaiki bentuk walau satu bagian dari tubuhnya itu.
Misalnya, dalam penggunaan gigi depan dan gigi samping untuk menghancurkan makanan, penggunaan lidah, air liur, tengkuk, kerongkong, kita dapatinya penciptaan itu tidak dapat diperbaiki lagi. Begitu juga, fikirkan pula tangan dan jari kita. 
Jari ada lima dan tidak pula sama panjang, empat daripada jari itu mempunyai tiga persendian, dan ibu jari hanya ada dua persendian, dan lihat pula bagaimana ia bisa digunakan untuk memegang, mencincang, memukul dan sebagainya. Jelas sekali manusia tidak akan dapat berbuat demikian, meski hendak menambah atau mengurangkan jumlah jari itu dan susunannya . 
Lihat pula makanan, tempat tinggal kita dan sebagainya. Semuanya cukup dikurniakan oleh Allah yang maha kaya. Tahulah kita bahwa rahmat atau Kasih Sayang Allah itu sama dengan Kekuasaan dan Kebijaksanaan-Nya, seperti firman Allah Subhanahuwa Taala. 
"RahmatKu itu lebih besar dari kemurkaanKu" 
Dan sabda Nabi SAW:
"Allah itu sayang kepada hamba-hambanya lebih dari sayang ibu kepada anaknya"
Demikianlah, dari makhluk yang dijadikanNya, manusia bisa tahu tentang wujud Allah, dari keajaiban tubuhnya, ia dapat tahu tentang Kekuasaan dan Kebijaksanaanya Allah; dan dari kurnia rezeki Tuhan yang tidak terbatas itu, nampaklah Cinta Allah kepada hambaNya.
Dengan cara ini, mengenal diri sendiri itu menjadi anak kunci kepada pintu untuk mengenal Allah Subhanawa Taala. 
Sifat-sifat manusia itu adalah bayangan Sifat-sifat Allah. Begitu juga cara wujud ruh manusia itu memberi kita sedikit pandangan tentang wujud Allah, yaitu Allah dan ruh itu tidak kelihatan, tidak bisa dibagi­bagi atau dipecah-pecahkan, tidak tunduk kepada ruang dan waktu, diluar kemampuan kuantitas (jumlah) dan kualitas, dan tidak bisa diperikan dengan bentuk, warna atau ukuran. Orang merasa sulit hendak membentuk satu konsep berkenaan hakikat-hakikat ini karena ia tidak termasuk dalam bidang kualitas dan kuantitas, dan sebagainya, tetapi coba perhatikan betapa susah dan payahnya memberi konsep tentang perasaan kita sehari-hari seperti marah, suka, cinta dan sebagainya.
Semua itu adalah konsep pikiran atau tanggapan khayalan, dan tidak dapat dikenali oleh indera. kualiti, kuantiti dan sebagainya dan itu adalah konsep indera (tanggapan pancaindera). 
Sebagaimana telinga kita tidak dapat megenal warna, dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi, maka begitu jugalah mengenal Ruh dan Allah itu bukanlah dengan inderanya. 
Allah itu adalah Pemerintah alam semesta raya ini. Dia tidak tunduk kepada ruang dan waktu, kuantiti dan kualiti, dan menguasai segala makhluknya. Begitu juga ruh itu memerintah tubuh dan anggotanya. Ia tidak bisa dilihat, tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan tidak tunduk kepada tempat tertentu.
Karena bagaimana mungkin sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagikan itu diletakan ke dalam sesuatu yang bisa dibagi atau dipecah?
Dari keterangan yang kita baca diatas itu, dapatilah kita lihat bagaimana benarnya sabda Nabi SAW.:
" Allah jadikan manusia menurut rupanya". 
Setelah kita mengenal Zat dan Sifat Allah hasil dari bertafakur kita tentang zat dan sifat Ruh, maka sampailah pengenalan kita kepada cara-cara kerja dan pemerintahan Allah Taala dan bagaimana ia mewakilkan kuasa-kuasaNya kepada malaikat-malaikat, dan lain-lain. 
Dengan cara bertafakur tentang bagaimana diri kita memerintah alam kecil kita sendiri.
Kita ambil satu contoh: 
Katakanlah seorang manusia hendak menulis nama Allah. Mula­mulanya kehendak atau keinginan itu terkandung dalam hatinya. Kemudian dibawa ke otak oleh daya ruhani. Maka bentuk perkataan "Allah" itu terdapat dalam khayalan atau pikiran otak itu. Selepas itu ia mengembara melalui saluran urat saraf, lalu menggerakkan jari dan jari itu mengerakkan pena.
Maka tertulislah nama "Allah" atas kertas, serupa seperti yang ada didalam otak penulis itu. 
Begitu juga apabila Allah Subahanahuwa Taala hendak menjadikan sesuatu hal, Ia mula-mulanya nampak dalam peringkat keruhanian yang disebut didalam Quran sebagai "Al-'Arasy".  Dari situ ia turun dengan urusan Keruhanian ke peringkat yang di bawahnya yang digelar "Al-Kursi". Kemudian bentuknya nampak dalam "Al-Luh Al-Mahfuz". 
Dari situ dengan perantaraaan tenaga-tenaga "Malaikat" terbentuklah hal itu dan kelihatanlah di atas bumi ini dalam bentuk tumbuh­tumbuhan, pokok-pokok dan binatang, yang mewakilkan atau menggambarkan Iradat dan Ilmu Allah.
Sebagaimana juga huruf-huruf yang tertulis, yang menggambarkan keinginan dan kemauan yang terbit dan terkandung dalam hati, dan bentuk itu dalam dalam otak penulis tadi.
Tidak ada orang yang tahu Hal Raja melainkan Raja itu sendiri. Allah telah memberi kita Raja dalam bentuk yang kecil yang memerintah kerajaan yang kecil.
Dan ini adalah satu salinan kecil Diri (Zat)Nya dan KerajaanNya. Dalam kerajaan kecil pada manusia itu, Arash itu ialah Ruhnya; ketua segala Malaikat itu ialah hatinya, Kursi itu otaknya, Luh Mahfuz itu ruang khazanah khayalan atau pikirannya.  Ruh itu tidak bertempat dan tidak bisa dibagikan dan ia memerintah tubuhnya sebagaimana Allah memerintah Alam Semester Raya ini. Pendeknya, tiap-tiap orang manusia itu diamanahkan dengan satu kerajaan kecil dan diperintahkan supaya jangan lengah dan lalai mengatur kerajaan itu. 
Berkenaan dengan mengenal ciptaan Allah Subhanahuwa Taala, ada banyak derajat pengetahuan. 
Ahli Ilmu Alam yang biasa adalah ibarat semut yang merangkak atas sekeping kertas dan memperhatikan huruf-huruf hitam terbentang di atas kertas itu dan merujukkan sebab kepada pena atau qalam itu saja.
Ahli Ilmu Falak adalah ibarat semut yang luas sedikit pandangannya dan nampak jari-jari tangan yang menggerakkan pena itu, yaitu ia tahu bahwa unsur-unsur itu adalah daya bintang-bintang, tetapi dia tidak tahu bahwa bintang itu adalah di bawah kuasa Malaikat. 
Oleh karena berbeda-bedanya derajat pandangan manusia itu, maka tentulah timbul perbedaan hasil atau kesan. Mereka yang tidak memandang lebih jauh dari fenomena alam nyata ini adalah ibarat orang yang mengganggap hamba abdi yang paling rendah itu sebagai raja.
Walau bagaimanapun, adalah salah besar menganggap hamba itu tuannya.
Karena ada perbedaan ini, maka pertengkaran akan terus terjadi. Ini adalah ibarat orang buta yang hendak mengenal gajah.
Seseorang memegang kaki gajah itu lalu dikatakannya gajah itu seperti tiang. Seorang lain memegang gadingnya lalu katanya gajah itu seperti kayu bulat yang keras.
Seorang lagi memegang telinganya lalu katanya gajah itu macam kipas.
Tiap-tiap seorang mengganggap bagian-bagian itu sebagai keseluruhan. Dengan itu, ahli ilmu alam dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-hukum yang mereka dapat dari ahli-ahli hukum. Kesalahan dan sangkaan seperti itu terjadi juga kepada Nabi Ibrahim seperti yang tersebut dalam Al-Quran, Nabi Ibrahim menghadap kepada bintang, bulan dan matahari untuk disembah. Lama kelamaan beliau sadar siapa yang menjadikan semua-benda-benda itu, lalu bisa berkata,
"Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
Kita selalu mendengar orang merujuk kepada sebab yang kedua bukan kepada sebab yang pertama dalam hal apa yang digelar sakit. Misalnya; jika seseorang itu tidak lagi cenderung kepada keduniaan, segala keindahan tidak lagi dipedulikannya, dan tidak peduli apa pun, maka dokter mengatakan, "Ini adalah penyakit gundah gulana, dan ia perlu obat ini A"
Ahli fisika akan berkata "Ini adalah kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak dapat dilegakan kecuali udara menjadi lembab."
Ahli nujum akan mengatakan bahwa itu adalah pengaruh bintang­bintang.
"Hanya itulah kebijaksanaanya mereka" Kata Al-Quran, tidaklah mereka tahu bahwa sebenarnya apa yang terjadi ialah: Allah Subahana Wataala memberi kebajikan orang yang sakit itu dan dengan itu memerintahkan hamba-hambanya seperti bintang-bintang atau unsur-unsur, mengeluarkan keadaan seperti itu kepada orang itu agar ia berpaling dari dunia ini mengadap kepada Tuhan yang menjadikannya. 
Pengetahuan tentang hakikat ini adalah sebuah mutiara yang amat bernilai dari lautan ilmu yang berupa Ilham; dan ilmu-ilmu yang lain itu jika dibandingkan dengan Ilmu Ilham ini adalah ibarat pulau-pulau dalam lautan Ilmu Ilham itu.
Dokter, Ahli Fisika dan Ahli Nujum itu memang betul dalam bidang ilmu mereka masing-masing. Tetapi mereka tidak tahu bahwa penyakit itu bisa dikatakan sebagai "Tali Cinta" , yang dengan tali itu Allah menarik AuliaNya kepadaNya. Berkenaan ini Allah ada berfirman yang bermaksud;
"Aku sakit tetapi engkau tidak melawat Aku".
Sakit itu sendiri adalah satu bentuk pengalaman yang dengannya manusia itu bisa mencapai pengetahuan tentang Allah sebagaimana firman Allah melalui mulut Rasul-rasulNya, 
"Sakit itu sendiri adalah hambaKu dan disertakan kepada orang-orang pilihanKu".
Dengan ulasan-ulasan yang terdahulu, dapatlah kita meninjau lebih mendalam lagi maksud kata-kata yang selalu diucapkan oleh orang-orang yang beriman yaitu, 
"Maha Suci Allah" (SubhanAllah)  "Puji-pujian Bagi Allah (Alhamdulillah)  "Tiada Tuhan Melainkan Allah (La ilaha illAllah)  "Allah Maha Besar" (Allahu Akbar). 
Berkenaan dengan "Allahu Akbar" itu bukanlah bermaksud Allah itu lebih besar (secara fisik) dari makhluk, karena makhluk itu adalah penampakan-Nya sebagaimana cahaya memperlihatkan matahari. Tidaklah bisa dikatakan matahari itu lebih besar daripada cahayanya. Ia bermaksud yaitu Kebesaran Allah itu tidak dapat diukur dan melampaui jangkauan kesadaran, dan kita hanya bisa membentuk gambaran yang tidak sempurna dan tidak nyata berkenaanNya.
Jika seorang anak-anak bertanya kepada kita untuk menerangkan enaknya mendapat pangkat yang tinggi, kita hanya dapat mengatakan seperti perasaan anak-anak itu tatkala sedang bermain bola, meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak ada persamaan langsung, kecuali hanya kedua-dua hal itu termasuk dalam jenis kesenangan. 
Oleh yang demikian, kata-kata "Allahu Akbar" itu berarti Kebesaran itu melampaui semua kuasa pengenalan dan pengetahuan kita. Tidak sempurna pengenalan kita berkenaan Allah itu, bukan dengan pikiran saja tetapi adalah disertai oleh ibadat dan pengabadian kita.
Apabila seorang itu mati, maka ia berhubungan dengan Allah saja. Jika kita hidup dengan orang lain, kebahagiaan kita bergantung kepada derajat kemesraan kita terhadap orang itu.
Cinta itu adalah benih kebahagiaan, dan Cinta kepada Allah itu dituju dan dibangun melalui ibadat. 
Ibadat dan sentiasa mengenang Allah itu memerlukan kita supaya bersikap sederhana dan mengekang kehendak-kehendak tubuh. Ini bukanlah berarti semua kehendak tubuh itu dihapuskan; karena itu akan menyebabkan punahnya manusia. Apa yang diperlukan ialah membatasi kehendak-kehendak tubuh itu. Oleh karena seseorang itu bukanlah Hakim yang paling bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang batas itu, maka ia lebih baik merundingi pemimpin-pemimpin keruhanian dalam hal ini, dan hukum-hukum yang mereka bawa melalui Wahyu Ilahi menentukan batas yang harus diperhatikan dalam hal ini.
Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang lalim. (Al-Baqarah; 229). 
Walaupun Al-Qur'an telah memberi keterangan yang nyata, masih ada juga orang yang melanggar batas karena kejahilan mereka tentang Allah dan kejahilan ini adalah karena beberapa sebab, 

Pertama, ada golongan manusia yang terus mencari Allah melalui pikiran, lalu mereka membuat kesimpulan dengan mengatakan tidak ada Tuhan dan alam ini terjadi dengan sendirinya atau wujudnya tanpa permulaan. Mereka ini seperti orang yang melihat surat yang tertulis dengan indahnya, dan mereka mengatakan surat itu sedia tertulis tanpa penulis atau ada begitu saja.Orang yang seperti ini telah jauh tersesat dan tidak berguna berhujah dan bertengkar dengan mereka. Setengah daripada orang-orang seperti ini adalah Ahli Fizika dan Ahli Bintang yang telah kita sebutkan di atas tadi. 

Kedua, orang karena kejahilan tentang keadaan sebenarnya Ruh itu. Mereka menyangkal adanya hidup di Akhirat dan menyangkal manusia itu diadili di sana . Mereka anggap diri mereka itu satu taraf dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan dan akan hancur begitu saja. 

Ketiga, orang yang percaya dengan Allah dan Hari Akhirat, tetapi kepercayaan atau Iman mereka itu sangat lemah. Mereka berkata kepada diri mereka sendiri,
Pikiran mereka ini seperti orang sakit yang disuruh makan obat, tetapi ia berkata,
"Apa untung atau ruginya dokter itu jika aku makan obat atau tidak makan obat?" .

Memang tidak terjadi apa-apa kepada dokter itu tetapi orang itulah yang akan bertambah sakit karena bodohnya.  Tubuh yang sakit berakhir dengan mati. 

Maka Ruh atau Jiwa yang sakit berakhir dengan kesusahan dan siksaan di akhirat nanti, seperti firman Allah Taala dalam Al-Qur'an yang bermaksud :
"Hanya Dan barang siapa kafir maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (Luqman-23)

Keempat, ialah mereka yang berkata;
"Hukum Syariat menyuruh kita jangan marah, jangan menurut nafsu, jangan bersikap munafik. Ini tidak mungkin karena sifat-sifat ini memang telah ada semula jadi pada kita. Lebih baik tuan suruh saya membuat yang hitam itu jadi putih". 
Mereka ini sebenarnya bodoh. Mereka jahil dengan hukum Syariat. Hukum Syariat tidak menyuruh manusia membuang sama sekali perasaan itu, tetapi hendaklah dikendalikan supaya tidak melanggar batas yang dibenarkan. Supaya terhindar dari dosa besar, dan kita bisa memohon keampunan terhadap dosa-dosa kita yang kecil. Sedangkan Rasulullah ada bersabda,
"Saya ini manusia juga seperti kamu, dan marah juga seperti orang lain".
Firman Allah dalam Al-Qur'an:
Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Al-Imran:146) 
Ini berarti bukan mereka yang tidak ada perasaan marah. 
Kelima, ialah mereka yang menekankan Kemurahan Tuhan saja tetapi menepikan KeadilanNya, lalu mereka berkata kepada diri mereka sendiri,
"Kami buat apa saja karena Allah itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang".
Mereka tidak ingat meskipun Allah itu Pengasih dan Penyayang, namun beribu-ribu manusia mati kelaparan dan karena penyakit. Mereka tahu, barang siapa hendak hidup atau hendak kaya, atau hendak belajar, mestilah jangan hanya berkata, "Allah itu Kasih Sayang". tetapi perlulah ia berusaha sungguh-sungguh. 
Meskipun ada firman Allah dalam Al-Qur'an : 
Dan tidak ada suatu mahluk pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam mahluk itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). (Hud:06)
tetapi hendaklah juga ingat Allah juga berfirman : 
Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha. (Furqon:47)
Sebenarnya mereka yang berpendapat di atas itu adalah dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka berkata di mulut saja, bukan di hati. 
Keenam, pula menganggap mereka telah sampai ke taraf kesucian dan tidak berdosa lagi. Tetapi kalau anda layani mereka dengan kasar dan tidak hormat, anda akan dengar mereka marah dan bertahun-tahun mencela anda. Dan jika anda ambil makanan sesuap saja yang patut, seluruh alam ini kelihatan gelap dan sempit pada perasaan mereka. Kalau pun mereka itu telah dapat menakluki hawa nafsu mereka, mereka tidak berhak menganggap dan mengatakan diri mereka itu tidak berdosa lagi, karena Nabi Muhammad SAW. sendiri, manusia yang paling tinggi darajatnya, sentiasa mengaku salah dan memohon ampun kepada Allah. 
Setengah daripada Rasul-rasul itu sangat takut berbuat dosa sehingga pada hal- hal yang halal pun mereka menghindarkan diri . 
Diriwayatkan, suatu hari Nabi Muhammad SAW. telah diberi sebiji Tamar. Beliau enggan memakannya kerena beliau tidak pasti Tamar itu didapati secara halal atau tidak.  Tetapi mereka menelan arak berbotol-botol banyaknya dan berkata mereka lebih mulia daripada Nabi. (Saya gemetar semasa menulis ini). 
Pada hal sebutir Tamar pun tidak disentuh oleh Nabi jika belum pasti sama ada halal atau tidak. Sesungguhnya mereka telah diseret dan disesatkan oleh Iblis. 
Aulia Allah yang sebenarnya mengetahui bahwa orang yang tidak menundukkan hawa nafsunya tidak patut dipanggil "orang" dan orang Islam yang sebenarnya ialah mereka yang dengan rela hati, tidak mahu melanggar Syariat. 
Mereka yang melanggar Syariat adalah sebenarnya dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka ini sepatutnya bukan dinasihati dengan pena, tetapi adalah sewajarnya dengan pedang. 
Sufi-sufi yang palsu ini kadang-kadang berpura-pura tenggelam dalam lautan keheranan atau tidak sadar, tetapi jika anda tanya mereka apakah yang mereka herankan itu, mereka tidak tahu. 
Sepatutnya mereka disuruh menungkan keheranan sebanyak-banyak yang mereka suka, tetapi di samping itu hendaklah ingat bahwa Allah Subhanahuwa Taala itu adalah Pencipta mereka dan mereka itu adalah hamba Allah saja. 
-- 0 0 0 –­