Sabtu, 27 Maret 2010

Tujuh Mata Air


A`udzu billahi min asy-Syaythaanir-rajiim. Bismillaahir-rahmaanir­rahiim. Destuur ya sayyidi madad. Nawaytul arba`iin, nawaytul ‘itikaf, nawaytul khalwa, nawaytul `uzla, nawatul riyaadha, nawaytus suluk, fii hadzal masjid lillahi ta`ala al-`azhiim. 

Al-hal adalah kondisi ruhaniah seseorang, yang menentukan sampai ke level mana dia akan diangkat dan bagaimana dia mengalami (menangani?) inspirasi melalui hatinya. Sebagian besar, hal adalah hasil olah amalnya.
Al-feyd adalah pancaran (emanasi) luar (yang nampak) atau pancaran cahaya surgawi yang dikirim langsung oleh Allah, yang turun kepada seseorang tanpa upaya atau interferensi orang tersebut. Keduanya menimbulkan rasa yang berbeda dalam diri pribadi tadi.
Grandsyaikh `Abdullah Fa`iz ad-Daghestani k mengatakan bahwa karakteristik yang bermacam-macam ini datang kepada seseorang dari tujuh mata air yang berbeda, masing-masing mengalir dari sumber yang khas (unik). Kondisi yang beragam yang dialami seseorang dipengaruhi oleh jenis khusus malaikat yang ditugasi Allah untuk membantu mereka berproses dari level ruhaniah satu ke level berikutnya.  Level mata air surgawi pertama di antara tujuh mata air itu diselenggarakan oleh malaikat yang khusus diciptakan dan ditugaskan Allah untuk mengilhami tindakan para hamba-Nya. 
Para malaikat ini mengirimkan pikiran, ilham atau inspirasi dan kuasa, yang kesemuanya itu merubah seseorang yang secara visual nampak. Para malaikat ini sesungguhnya memberi petunjuk kepadanya melalui inspirasi. Dia mengalami perasaan lega, bahagia dan melayang, atau sesak karena gangguan atau distraksi dan ketidakbahagiaan. 
Seseorang pada level (maqam) ini, kalau tidak dalam keadaan merasa lega, ya dalam keadaan merasa sempit. Itu semua tergantung bagaimana hatinya mengolah inspirasi yang menggerakkannya melalui keadaan (rasa) yang berbeda itu, kalau dia tidak tertawa, ya dia menangis, atau dalam keadaan bingung. Juga, bagaimana hatinya mengolah inspirasi ini tergantung amalnya.
Jika dia melakukan kesalahan dia mungkin menangis dan merasa jera (taubat). Jika dia melakukan kebaikan, dia mungkin merasa bahagia atau sukacita (ridha) bahwa Allah ridha kepadanya. Jika dia bersikap baik dalam segala situasi dan keadaan, masya Allah, melakukan dzikir, sukacita, menerima tajalli Allah, dia akan berada dalam keadaan melayang-layang (ekstasi), tersenyum, atau menangis karena cintanya kepada Allah atau karena rasa takut kepada-Nya.
Kesemua ragam rasa (situasi batin) ini diilhami oleh malaikat tadi, dan disebut sebagai hal: situasi batin yang dialami oleh hamba Allah. Segala sesuatu di dunia ini dijaga dan diawasi oleh malaikat yang telah ditugaskan Allah dengan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Mata air kedua yang mencapai hamba Allah dilaksanakan oleh jenis malaikat yang lain lagi, yang membuatnya menyadari apa saja yang telah dicapainya, agar maju ke level ruhaniah yang lebih tinggi. 
Inilah sebabnya mengapa kadang-kadang seseorang mendapati dirinya dalam keadaan buruk yang sangat dia sesali, dan sekonyong­konyong keadaan itu menuju kepada keadaan yang kita sebut faraj, sebuah bukaan (kesempatan) positif untuk mereka dalam kehidupan mereka, yang membawa mereka kepada kebahagiaan.
Jenis manusia yang menjadi diri kita bergantung pada amal kita, yang baik dan buruk; pada posisi baik dan buruk yang kita ambil dalam hidup ini, dan pengaruh baik dan buruk yang kita miliki di sekitar kita. Ini adalah dasar bagi ilmu psikologi (`amal al-nafs), yang mengungkapkan psikologi dan kepribadian seseorang. Tetapi, ilmu seperti itu tidak dapat menentukan level ruhaniah seseorang. 
Sementara level pertama dan kedua diselenggarakan kepada masing­masing orang oleh malaikat, mata air ketiga berbeda. Pada Hari Perjanjian, ketika semua hanyalah atom di Hadirat Ilahi, ketika Allah menciptakan jati diri anda, rahasia anda, dzat anda, Dia juga menetapkan anda dalam asuhan Mursyid anda, yang membimbing anda melalui tataran jiwa anda kepada peran yang ditakdirkan bagi anda dalam hidup ini, dan dalam cara-cara untuk meningkatkan diri anda.
Mursyid ini tahu ilham apa yang dibawa para malaikat ke dalam hati anda, membimbing anda kepada hasil yang terbaik, dan menyingkirkan kebimbangan anda. Ketika feyd itu turun kepada anda, Mursyid ini menyalurkannya melalui suatu cara yang akan mengangkat diri anda ke level ruhaniah yang lebih tinggi. 
Jadi, untuk kepentingan murid, Mursyid itu menyeimbangkan hal dan feyd, kondisi di dalam (ruhaniah) bersama-sama dengan kucuran (emanasi) surgawi. Meskipun terdapat ratusan Mursyid at-Tabarruk, Mursyid at-Tazkiyyah, dan Mursyid at-Tasfiyya, dalam setiap abad hanya ada seorang Mursyid at-Tarbiyya: seseorang yang membawa Bendera Irsyad (petunjuk). 
Dia adalah sumber, mata air yang mengalir dari jantungnya ilmu. Dia menerima petunjuk langsung dari Nabi e dan menyalurkannya kepada semua Awliya lainnya. Sementara terdapat 124.000 Awliya yang berbeda-beda pada setiap saat, hanya ada satu pewaris Nabi e. Dia memiliki kemampuan dan izin untuk mengangkat Awliya, dan (pada gilirannya) mereka ini dapat mengangkat kita semua. 
Ketika Mursyid at-Tarbiyya meninggalkan dunia ini, dia menyerahkan warisan yang diterimanya dari Nabi e kepada wali lainnya. Dengan cara ini, pada setiap saat hanya ada seorang Mursyid at-Tarbiyya di dunia ini. Allah meberikan izin kepada Nabi e–dan dari Nabi e kepada Mursyid itu-–untuk memiliki kontak dengan semua Awliya, bahkan yang telah berada dalam hayyat al-Barzakh.
Untuk mengambil manfaat dari para Awliya (dalam hayyat al-Barzakh), Mursyid at-Tarbiyya itu mengidentifikasi kekuatan dan hal khas apa saja yang mereka miliki masing-masing, yang diambilnya dari mereka dan menyalurkannya kepada Mursyid at-Tabarruk, Mursyid at-Tazkiyyah, Mursyid at-Tasfiyya, dan kepada para pengikutnya.
Namun, hanya mereka yang telah mencapai level murid dalam Thariqat Naqsybandi, yang mencapai level tertinggi dari bimbingan dan yang merupakan pencari pada jalan itu, dapat menuai keuntungan dari Awliya Barzakh, dan bahkan itu pun, hanya melalui Mursyidnya. 
Untuk betul-betul berkomunikasi dengan dan menyerap manfaat dari ruh dalam kubur, seseorang harus sudah menguasai egonya, dan sasaran satu-satunya haruslah Hadirat Ilahi. Orang khusus ini berada di bawah bimbingan Mursyid at-Tazkiyya dan mereka telah mencapai sebuah keadaan keberadaan yang peka di dunia ini.
Makhluk umum (awam) tidak dapat menyerap manfaat dari orang Barzakh karena mereka tidak memiliki koneksi itu, dan karena itu tidak dapat menerima ilham atau bimbingan dari Awliya yang telah pergi ke alam berikutnya, yang tidak lagi menggunakan kekuatan fisik mereka.
Namun orang kebanyakan dapat menyerap manfaat dari Awliya yang masih hidup, karena mereka menyadari hidupnya melalui domain (wilayah) fisik. Sedemikian rupa, Awliya hidup dapat mencapai mereka (orang awam) pada kedua tataran fisik dan ruhaniah. 
Jika seseorang mencari jalan menuju Allah I dalam cara manapun dari empat puluh satu thariqat, dan tidak mencapai level wali bertaraf tinggi, akan datang kepadanya perintah untuk menyelesaikan itikafnya itu di alam kubur. Jangka waktu itikaf tersebut bervariasi dari empat puluh hari sampai lima atau tujuh tahun, dan itu adalah 70.000 kali lebih sukar dibandingkan itikaf di dunia ini. Seseorang yang telah menyelesaikan itikafnya di dunia ini dan yang telah mencapai keadaan keberadaan yang peka di sini di dunia ini, akan lebih tinggi level ruhaniahnya dibanding dengan mereka yang mencapainya saat dalam kubur.
Mata air ketiga datang kepada kita jika kita tetap mematuhi perintah Mursyid at-Tazkiyya, mengikuti bimbingannya, mengikuti jejak langkah Sayyidina Muhammad e, melaksanakan awrad harian khusus yang ditugaskan kepada kita, mempersembahkan dzikrullah dan semua shalat pada waktunya, menjalani semua sunnah Nabi e. Ketika amalan dzahir (lahiriah) ini telah dicapai, hati kita mulai tergerak, seperti seseorang yang bernapas cepat. Jantung bergetar dan murid "tersengat api".
Pada tataran ini, mata air keempat mendatanginya dan dia mulai menerima barakah surgawi, karena dia menerima dari malaikat pada mata air pertama dan kedua, dari Mursyid at-Tazkiyya, mengikuti awrad dan sunnah, mengakibatkan turunnya Rahmat Allah kepadanya. Kini jantung mulai tergetar, dan mata air kelima mendatanginya. 
Setiap Kamis dan Senin, di dalam Majelis Awliya, setiap Mursyid secara ruhaniah mempersembahkan pengikutnya dan amal mereka kepada Nabi Muhammad e. Para murid yang jantungnya tergetarkan dibawa ke hadirat Nabi e, sementara Mursyid sekedar berkata, "Ya Sayyidi, ini adalah murid saya dari ummatmu. Dia mematuhi perintahmu dan mencari Shirat al-Mustaqiim, mengikuti jejak kaki para Awliya."  Allah berfirman dalam al-Quran, "Pertama mereka beriman, kemudian mereka ingkar (kufra), kemudian mereka jatuh sempurna. Kufra di sini bukan masuk kepada keadaan kufr, tetapi lebih kepada arti jatuh kepada dosa. Summa amanu di sini berarti bahwa dia mulai melakukan amal baik, dan kemudian mengikuti jejak Setan, lalu jatuh sempurna. Dia adalah Muslim, namun masih jatuh kepada dosa. 
Pada titik ini, Mursyid at-Tazkiyya berfokus mendalam kepada hati para pengikutnya, mempersiapkan mereka dan membangun mereka agar mereka tidak jatuh kepada perbuatan mungkar. 
Itulah sebabnya dia mempersembahkan mereka kepada Nabi e setiap Kamis dan Senin dalam Majelis Awliya, di mana Nabi e memeriksa apa yang berhasil dilakukan masing-masing Mursyid terhadap diri murid­murid mereka. Jadi jika Nabi e mengamati bahwa murid itu mengikuti sunnah-nya, menjalankan cara-cara para Awliya, dia menjadi amat bahagia dan menerima amal murid itu dan mulai mengarahkan pandangannya kepada murid itu. 
Dari kebahagiaan Nabi e, feyd-–suka cita Allah, Barakah, Cahaya Ilahi­–mulai sampai pada murid itu. Itulah sebabnya Muslim mengatakan (dalam do`a), Unzur Alayna Ya Rasulallah  "Ya Rasulullah e, pandanglah kami, berilah kami sebuah pandangan, sebuah lirikan! Kami berada di bawah tajalli-mu, dengarlah permintaan kami, do`a kami, karena kami memujimu, dan kami tenggelam dalam kesukaran dan kami minta engkau mengangkatnya." 
Bila Nabi e suka cita dengan murid Syaikh itu, dia akan memandang orang itu, mengangkatnya, dan barakah Allah mendatangi murid itu. Ketika dia diangkat, jantung murid itu akan berdegup dalam ekstasi, berputar, berputar-melayang-bentuk-spiral dalam cinta Allah secara penuh.
Kemudian Allah mengilhami murid itu untuk mencapai mata air keenam. Pada tataran ini, apabila murid itu mulai membaca al Quran­–kalimat Allah yang berusia ribuan tahun—Allah menugaskan sebuah tajalli untuk setiap huruf, kata dan ayat, yang secara diam-diam menuju sasarannya, yaitu hati murid tersebut, di mana (tajalli) itu memberikan efek perubahan. Tanpa tajalli tersebut, tak ada perubahan.  Seseorang dapat saja membaca al-Quran siang-malam, dan memberi penafsiran apa yang dibacanya sesuai dengan pemahaman terbatasnya, mendapatkan hikmah darinya, dan bahkan menjadi tercerahkan.
Tetapi seseorang tidak dapat memiliki pengelihatan (penampakan, visi) kecuali tajalli itu datang bersamaan dengan bacaan, yang akan mendatangi anda bila Nabi e bersuka cita kepada anda, yang menyebabkan Allah membuka tajalli itu.
Setelah seseorang memasuki enam mata air dengan tataran yang berbeda ini, Allah memperkenankan mereka untuk mencapai mata air ketujuh, di mana Dia membuka rahasia jati diri kelahiran mereka.
Mata Air Kesucian
Nabi e bersabda : Seorang bayi terlahir dalam kesucian (fitrah). Nabi e juga bersabda bahwa jika pipa seorang hamba masih tersambung dengan asal-muasalnya, dengan sumber surgawinya, Allah akan membuka baginya "Sumber Kesucian", fitrat al-Islam, mata air ketujuh.
Saluran ini adalah seperti pipa, air mengalir langsung dari sumber asalnya sampai ke ujung cabang pipa, yang menyambungkan murid itu dengan alam al-arwah. Pipa itu masih tetap di sana.  Kebenaran khas kita datang dari esensi (dzat) kita, atom yang diciptakan Allah pada Hari Perjanjian, hari alastu bi rabbikum qaalu bala, ketika Allah bertanya kepada setiap diri kita, "Bukankah Aku Rabb-mu dan engkau adalah hamba-Ku?" dan kita menjawab, "Ya!" Sejak saat itu, ibadullah, hamba Allah, telah berada dalam keadaan beribadah sampai ruh mereka mencapai rahim ibu mereka. Sejak hari itu setiap ruh tetap berada dalam keadaan beribadah berkesinambungan, tanpa henti. Pada peristiwa surgawi tersebut, Allah menetapkan tugas bagi setiap ruh, dan malaikat yang akan membantu mereka dalam ibadah mereka. 
Dalam keadaan peribadatan seperti itu, setiap ruh terlibat dalam peribadatan murni kepada Rabb mereka, tanpa syirik. Allah  I boleh memilih untuk mengangkat siapa pun dan memberikan feyd-Nya pada mereka.
Dalam setiap saat, Allah memakaikan hamba-Nya busana anwar al­nabi yang pertama kali dipakaikan-Nya kepada Nabi e, dan dari Nabi e kepada para Anbiya dan Awliya, dan dari Awliya kepada orang-orang lainnya. Persis sebagaimana Sayyidina Adam u dipakaikan busana oleh Allah di Surga, setiap saat Allah memakaikan busana pada hamba-Nya yang sedang berada di Hadirat Ilahi-Nya dengan 70.000 tajalli yang berbeda-beda. Surga adalah keberadaan yang selalu hidup, di mana tidak terdapat sakit dan bahaya. Semua hamba Allah, semua ruh, tinggal di Surga sebelum mereka dilahirkan ke dunia ini. 
Di sana Allah memahkotai semua orang dengan Keceriaan Ilahi, dan dengan Sifat al-Jamaal.
Mereka secara sempurna murni berada dalam keceriaan itu, dan dari kedalaman keadaan demikian itu mereka menginginkan cinta dan keindahan yang puncak, yaitu dari busana Sifat al-Jamaal lillahi ta’ala. Setiap orang yang lahir ke dunia, awalnya lahir di Surga. Ketika saatnya tiba, dia muncul ke dunia melalui rahim ibunya. Itulah sebabnya setiap bayi menangis ketika dilahirkan, oleh kesakitan dan kejutan akibat berpisah dari Hadirat Suci. Pada saat kelahiran ke dunia ini, semua bayi memanjatkan do`a, bermohon kepada Allah untuk membolehkan mereka untuk kembali ke tempat Hadirat Suci itu. Beberapa bayi langsung meninggal begitu dilahirkan, karena Allah menerima do`a mereka dan mengambil mereka kembali! Tidak satu pun bayi yang datang ke dunia dengan tertawa atau tersenyum; mereka menangis! Hanya Nabi e yang tidak menangis ketika beliau datang ke dunia; beliau langsung menyebutkan ummati ummati, "Ummatku, ummatku," dan langsung bersujud (sajdah), memohon Allah untuk melindungi ummatnya. Sayyidina Isa u juga tidak menangis ketika datang ke dunia; beliau berkata, inni `abdullah! "Aku hamba Allah!"
Bayi menangis ketika dilahirkan, karena mereka takut bahwa sekarang mereka tergoda kepada dosa dan tidak tahu harus berbuat apa. Nabi e berkata bahwa ketika seorang bayi terlahir, orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani atau seorang pemuja api (Zoroastrian), padahal sesungguhnya dia sudah seorang Muslim, karena `ilm dan ibadah surgawi yang telah melekat padanya tidak dapat digelapkan. Jadi, jika bayi itu datang ke dunia dan mulai menyimpang dari apa yang dipelajari sebelumnya di Surga, dia menjadi terselubung terhadap kekuatan surgawi. 
Jika orang tuanya tidak mengamati (melaksanakan) tahap-tahap tuntunan ritual kemurnian dan peribadatan, jika mereka diperkenalkan kepada perilaku buruk yang berbeda-beda, dia akan terselubung dari Kebenaran Ilahi.
Pada saat terlahir dia masih dapat melihat, dia masih memiliki kaitan secara samar-samar dengan Surga, namun ketika dia telah terselubungi penampakan itu, seluruhnya akan tertutup. Tetapi, dengan Rahmat-Nya, Allah mengawetkan (menyimpan) semua berkah dan cahaya yang terkait dengan ibadah bayi itu di Surga! Jadi ketika dia mencapai usia dewasa, Allah mengembalikan kepadanya manfaat dari semua ibadahnya yang dilakukan di kehidupan ruhaniah di Hadirat Ilahi.
Boleh jadi orang itu berbuat dosa dan taubat, berdosa lagi dan bertaubat lagi, tetapi dia masih memiliki kredit ibadah yang dilakukan di alam sebelumnya itu. Itulah sebabnya jika seseorang dikembalikan kepada hati mereka, mereka merasa bahagia. Kadang-kadang anda merasa begitu bahagia dan anda tidak mengetahui apa sebabnya. Tidak ada alasan atau penjelasan, bahagia begitu saja. Anda merasa ringan, tanpa masalah. Allah tahu bahwa anda adalah seorang hamba yang taat, dan Dia membuka lebih banyak untuk anda dari Hadirat Surgawi itu, yang mengisi hati anda, maka anda mendapati diri anda berada dalam keadaan puas. Tentang hal ini Allah berfirman, ala bi dzikr-ullahi tatma-innul qulub, "Dalam mengingat Allah, hati menemukan kepuasan, rileks!"
Raga manusia adalah sebuah bentuk fisik yang tunduk kepada hukum fisik. Dia itu padat dan gaya tarik bumi menariknya ke bawah, mengekangnya ke bumi. Jika kita menggunakan contoh sebuah silinder metal yang diisi dengan gas helium, awalnya silinder itu berat. Namun, dengan mengganti isi silinder yang tadinya metal dengan helium, silinder itu menjadi seperti balon yang diisi helium, yang akan mengangkatnya ke atas, ke atmosfir. Ketika Allah memulihkan semua dzikir anda yang dilakukan sebelumnya, itu akan mengisi anda seperti halnya sebuah balon helium, dan anda akan merasa ringan. Ketika ibadah dan dzikir anda sebelum ini mengisi penjara raga anda dan Allah melepaskan energi suci itu, itu akan menyeimbangkan diri anda antara kedua dunia dan membuat anda merasa bahagia. Dengan perintah Allah kepada Nabi e, dan dari Nabi e kepada Awliya yang bertanggung jawab sebagai Mursyid at-Tarbiyya anda, energi itu dilepaskan. Dia mengangkat anda ke atas dan merubah sistem anda, membebaskan anda secara sempurna dari segala macam depresi sehingga anda merasa rileks. Anda tersambung kembali dengan jati­diri anda sebelumnya, yang karena (ulah) diri sendiri dan kegelapan dunia ini, menyebabkan anda tidak dapat melihatnya, dan anda akan mulai melihat sesuatu, yang orang lain tidak dapat melihatnya.
Mengikuti jejak Sayyidina Jalaluddin Rumi k, Thariqat Mevlevi (Mawlawiyyah) mempraktekkan sebuah bentuk gerak berputar yang mendorong mereka kepada keadaan santai (ekstasi), ketika Allah melepaskan tenaga suci itu kepada Nabi e, dan Nabi e melepasnya kepada para Awliya. Inilah yang dialami oleh Sayyidina Jalaluddin Rumi k. Ketika anda ke atas, anda tidak bergerak lurus–anda berputar!
Ketika helikopter naik, baling-balingnya berputar, menimbul tenaga yang mengangkatnya lepas landas.
Pengikut Jalaluddin Rumi k tidaklah sedang menari, melainkan berputar mengikuti energi yang membawanya ke atas.
Kebenaran tentang putaran adalah seperti elektron berputar mengelilingi inti atom (nukleus). Ketika Allah melepaskan energi itu, Jalaluddin Rumi k berputar mengelilingi jati diri (esensi)-nya, diri yang sesungguhnya. Itu menghubungkan dirinya langsung kepada jati dirinya yang berada di Hadirat Ilahi (pada masa Hari Perjanjian), dan dia sangat terkejut dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya. Ketika Muslim melakukan ibadah hajji, kita melaksanakan thawaf seperti halnya elektron mengelilingi (circumambulate) nukleus, berlawanan arah dengan gerak jarum jam. Ini membuat kita berputar, agar mengangkat kita ke langit. Terdapat level thawaf spiritual yang lebih tinggi di atas semua orang. Para Awliya membuat thawaf secara spiritual lebih tinggi dari semua orang, dan malaikat membuat thawaf di atas mereka, naik langsung sejauh menuju Baytul Ma’mur, sampai kepada `Arsy.
Segala sesuatu harus berputar mengelilingi jati dirinya. Jati diri atom terletak di nukleus. Elektron itu mencerminkan energinya, bergerak mengelilingi pusat. Kita harus berputar mengelilingi jati diri kita. Jika kita dapat mengungkapkan jati diri dan energi kita, dan membuat energi kita mengelilingi jati diri kita, pada saat itu kita dapat mengangkat raga kita-–seperti halnya gas yang dimasukkan ke dalam balon. Dalam tahap seperti itu kita dapat terbang.
Ini adalah kekuatan ilmu mata air ketujuh: "mata air kesucian" dari Islam, yang dianugerahkan Allah kepada setiap orang. 
Sebagai tambahan, Allah menghadiahi orang beriman dengan semua manfaat yang diperoleh orang tak beriman melalui cahaya spiritual dari Hari Perjanjian, sampai saat mereka (orang tak beriman tadi) terlahir ke dunia.
Itulah sebabnya mengapa orang beriman terangkat naik begitu cepat. Sebagai contoh, jika kita katakan, "Ini terdapat 100 keping emas yang akan dibagi di antara mereka yang membutuhkannya." 
Jika seratus orang memerlukan keping itu, setiap orang akan mendapat sekeping per orang. Jika hanya 10 orang yang memerlukannya, masing-masing akan mendapat 10 keping, dan begitu seterusnya.
Setiap orang yang beriman dan taat kepada Allah  I dan Nabi-Nya, dan mengikuti pesan Ilahi dan Jalan (thariqat) Syaikh mereka, khususnya Mursyid at-Tarbiyya, dia akan mewarisi berkah besar sekali yang dikaruniakan Allah kepada semuanya pada Hari Perjanjian, dan keuntungan (manfaat) ibadah semua orang tak beriman sejak Hari itu sampai mereka datang ke dunia. 
Selanjutnya, di waktu kini ketika korupsi begitu meluas, orang beriman mendapat lebih banyak lagi jatah manfaat. Nabi e mengatakan, min ahiya sunnati inda fasadi ummati falahu ajrun sab’iina syahiid aw miya syahiid, "Ketika semua orang meninggalkan sunnah-ku, ketika korupsi melanda ummatku, Allah akan menganugerahkan kepada mereka yang menghidupkan satu sunnah, hadiahnya adalah pahala tujuh puluh atau seratus syuhada." Ini meliputi rakaat shalat sunnah, memakai cincin, memelihara jenggot, menggunakan miswak, dan sunnah Nabi e yang mana saja.
Karena mereka ini tidak memenuhi janji mereka kepada Allah untuk beriman dan beribadah (menyembah) hanya kepada-Nya saja, Allah telah memilih untuk menyerahkan manfaat ibadah (persembahan) mereka waktu yang lalu itu kepada mereka yang memenuhi janji yang telah diucapkan pada Hari Perjanjian tersebut. Itulah sebabnya ajr (pahala) menjadi meningkat pada hari-hari terakhir ini.  Jadi ini adalah ringkasan dari mata air ketujuh, yang dapat dicapai melalui putaran di sekitar jati diri anda. 
Ketika feyd mendatangi anda, anda akan mengalami setiap saat berada dalam keadaan ekstasi berkesinambungan, yang tidak henti sampai pada hari anda meninggalkan dunia ini. Anda akan mencapai level di mana Allah berfirman, mutu kabla anta mu’tu, "Matilah (kuasai egomu) sebelum engkau mati."
Nabi e berkata, "Jika engkau ingin melihat seseorang yang meninggal sebelum dia mati, lihatlah pada Abu Bakar ash-Shiddiq y." 
Itu artinya Sayyidina Abu Bakar y mampu menguasai egonya dan musuh yang empat–nafs, dunya, hawa, syaythan. Jadi ketika seseorang mengikuti jejak Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq y, itu akan membawanya kepada Jalan Sayyidina Muhammad e, yang menuju kepada keadaan ekstasi, di mana dia berputar mengelilingi jati dirinya dalam kecepatan sangat tinggi yang menyebabkan mereka naik! Apabila mereka naik, tak ada satu pun yang dapat menghentikan mereka untuk naik lebih tinggi lagi. 
Seperti sebuah tornado: dia terus berputar sampai tidak terlihat lagi, karena dia terangkat dari bumi. Pada level yang lebih tinggi ini, seseorang menciptakan sebuah lingkungan ideal yang tidak memiliki friksi, tiada kegelapan, tiada nafsu buruk, tiada dosa, dan tiada dunia. 
Dalam lingkungan demikian seseorang melanjutkan jalannya menuju Hadirat Ilahi yang Allah ingin mereka mencapainya. Itulah sebabnya Awliya tidak mengejar dunia, karena bagi mereka, dunia tidak memiliki nilai. Mereka sibuk dengan kesuka-citaan surgawi, keadaan ekstasi berkesinambungan yang selalu meningkat setiap saat, yang dalam lingkungan mereka mengecilkan dunia menjadi nihil. Banyak pihak yang mencela para darwis (sebutan untuk para pengikut Jalaluddin Rumi k) yang duduk di sudut membaca dzikr-ullah, karena mereka itu tidak tahu kebahagiaan macam apa yang dialami para darwis ini! Jika satu berkas kecil cahaya saja yang terbuka dari Cahaya Ilahi yang menyinari para darwis, itu akan menenggelamkan seluruh isi dunia ke dalam ekstasi itu. 
Jadi buat apa para darwis itu mau meninggalkan ekstasi itu untuk dunia? Sasaran setiap mukmin dan Muslim adalah berbuat amal baik, sehingga ketika dia berhadapan dengan Rabb-nya di Hari Pengadilan, Allah suka cita (ridha) dengannya. Para darwis ini sudah mencapai level itu! Semoga Allah mengampuni kita, dan menolong kita untuk mengerti Jalan para Awliya.
Janganlah terpenjara di dalam diri anda sendiri, terbelenggu pada ego anda dan empat musuh itu–nafs, dunya, hawa, syaythan–-jadilah manusia bebas! Jika tidak, anda akan menjadi pecundang pada Hari Pengadilan. Janganlah meminta untuk menjadi yatim! 
Dalam seluruh kehidupan mereka, yatim mengalami nar al-hasra, api yang membakar dari dalam, yang disebabkan oleh sebuah kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Janganlah kehilangan ayah pertama anda, yaitu Mursyid anda! Jangan menjadi seorang yatim tanpa seorang Mursyid! Temukan pembimbing anda! Temukan Mursyid at-Tarbiyya, yang dapat mengangkat anda. Jangan membuat kesalahan dengan berpikir bahwa anda tidak memerlukan seorang pun, bahwa anda dapat melanjutkan jalan langsung tanpa seorang pembimbing. 
Pertahankan ayah spiritual yang membimbing anda menuju Allah. Mursyid at-Tarbiyya akan membuat anda bahagia di kehidupan ini dan di Akhirat, menarik anda ke level Ilahiah anda melalui bimbingannya.
Jika anda mengikuti petunjuknya, anda akan menarik (menyedot) feyd al-ilahi, pengejawantahan berkah Allah. 
Wa min Allah at-Tawfiq. Dan kesuksesan adalah dengan (bersama) Allah. Bihurmat al habiib wa bi hurmat al-Faatiha.  Demi kehormatan yang terkasih dan demi kemuliaan Surat al-Fatiha. 

-- 0 0 0 -­

Sabtu, 20 Maret 2010

Ukuran u Menilai Keimanan, Kekufuran dan Kesesatan Orang Lain (dari Kitab Al-Mafahim Sayyid Al-Maliki Al-Hassani)




1.Jangan Sembarangan Mengkafirkan 

Banyak orang yang salah —semoga Allah Swt memperbaiki dan menunjuki mereka jalan yang benar— dalam memahami sebab-sebab yang mengakibatkan kemurtadan dan kekafiran. Mereka tampak begitu mudah mengkafirkan atau menganggap kafir saudaranya sesama Muslim hanya karena beberapa hal yang tidak sejalan dengan pendapatnya. Kami memandang mereka yang mempunyai kebiasaan seperti itu dengan baik sangka [husnuzhzhan]. Mereka sebenarnya mempunyai niat yang sangat baik
Hal itu diisyaratkan Allah Swt dalam Al-Qur’an Al-Karim “Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmat (ilmu dan kebijaksanaan), dengan nasihat yang bagus, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik; sesungguhnya Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa yang telah sesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui siapa yang menuruti jalan yang benar.” (Q .S. Al-Nahl [16]: 125). Cara yang bijaksana Itu sangat mudah diterima dan sangat memudahkan untuk mencapai tujuan kita, selain tidak akan menjerumuskan kita ke jurang perpecahan dan pertengkaran.
Jika seorang Muslim atau Muslimat mau mendirikan shalat, melaksanakan yang difardukan oleh Allah Swt, menjauhi segala yang di-haramkannya, bahkan menyebarluaskan dakwah Islam, rajin memakmurkan mesjid, giat meramaikan pendidikan dan kebudayaan (syiar Islam), tetapi kita melihatnya melakukan sesuatu yang menurut kita salah, tetapi menurutnya benar —artinya, dia tidak sejalan dengan pendapat kita— dan para ulama pun belum sepakat sejak dahulu sampai sekarang, lalu kita mengecapnya “kafir”, maka sebenarnya kita sendiri yang telah melakukan perbuatan yang sangat berbahaya di tengah-tengah umat Islam; suatu perbuatan yang dilarang keras oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Maka kita harus segera memperhatikan kode etik berdakwah atau mengajak orang ke jalan yang diridai oleh Allah Swt.
Al-’Allamah Imam Sayyid Ahmad Manshur Haddad mengatakan, “Sesungguhnya telah ditetapkan adanya ijmak (kesepakatan ulama) mengenai larangan mengkafirkan orang yang suka (beribadah) menghadap kiblat, kecuali jika dia mengingkari Al-Shani (Sang Pencipta, Allah Swt), atau melakukan perbuatan syirik dengan terang­terangan, atau mengingkari kenabian Nabi Muhammad Saw, atau mengingkari sesuatu yang pasti benarnya dan mudah dipahami dalam ajaran Islam, atau mengingkari suatu masalah atau hadis mutawatir (yang pasti keshahihannya), atau tidak mengakui sesuatu yang telah disepakati para ulama.”
Dalam ajaran Islam, masalah yang dapat diketahui secara pasti (kebenarannya) seperti masalah tauhid (mengakui ke-Mahaesa-an Allah Swt), masalah kenabian, telah ditutupnya risalah dengan diutusnya Nabi Muhammad Saw, kiamat, hisab/perhitungan, pembalasan di hari kiamat [al-jaza), surga dan neraka.
Jika seseorang mengingkari hal-hal seperti itu, ia dapat dinilai sebagai orang kaflr. Setiap Muslim tidak boleh berhalangan untuk mengetahui hal-hal pokok seperti itu, kecuali bagi orang-orang yang baru masuk Islam. Orang yang baru masuk Islam boleh —untuk sementara— berhalangan; untuk selanjutnya dia harus mempelajarinya juga, dan tidak boleh banyak alasan untuk tidak mengetahui dan mempercayai atau meyakininya.
Adapun hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin melakukan kebohongan, (diterima) dari sejumlah orang yang seperti mereka, baik dari segi isnad yaitu rangkaian sejumlah orang yang meriwayatkannya —seperti hadis: “Siapa saja yang berbohong atas-Ku, hendaklah menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka— maupun dari segi thabaqat atau tingkatannya, seperti mutawatirnya Al-Qur’an Al-Karim karena Al­Qur’an itu mutawatir, baik di Barat maupun di Timur, baik dalam hal mempelajari, membaca, maupun mempelajarinya, dan diterima sejak dahulu sampai sekarang dari sekelompok yang banyak, dari kelompok yang banyak pula, dan dari thabaqat-thabaqat lainnya sehingga tidak lagi memerlukan isnad.
Kadang-kadang yang mutawatir itu dalam bentuk perbuatan yang secara turun-temurun, sejak masa hidup Nabi Muhammad Saw sampai sekarang, diamalkan dan dipraktikkan serta tidak ada orang yang meng-ingkarinya (khususnya dari kalangan para ulama). 
Bisa juga mutawatir dari segi ilmu (tawatur ‘ilm/diketahui bersama), seperti kemutawatirannya segala mukjizat Nabi Muhammad Saw. Meskipun sebagiannya ada yang diriwayat-kan secara ahad (individual), ada yang shahih, hasan, dan ada yang dha’if, tetapi dapat dinilai mutawatir dengan ilmu pengetahuan setiap insan Muslim.
Jadi, jika hal-hal yang telah disebutkan di atas diingkari oleh seseorang —atau hanya salah satunya saja— maka orang itu boleh dinilai kaflr atau murtad. Sedangkan terhadap orang-orang yang tidak mengingkari salah satu dari hal-hal pokok tersebut, siapa pun tidak boleh menilainya sebagai orang kafir. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw menegaskan:
Jika seseorang berkata kepada saudaranya, “Hai Kafir”, maka kekafiran akan kembali (menimpa) kepada salah seorang di antara keduanya. (H.R. Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a.)
Sebetulnya, menilai kafir atau mukmin itu hanyalah hak orang yang memang —dengan sinar Ilahi dan cahaya syariat Islam— mengetahui sisi (substansi) perbuatan yang menimbulkan kekafiran, juga mengetahui secara pasti batas yang jelas antara keimanan dan kekafiran ditinjau dari syariat Islam yang mulia dan sempurna.
Jadi, tidak boleh sembarang orang memasuki medan seperti ini untuk menuduh kafir terhadap saudaranya yang Muslim hanya didasarkan pada sesuatu yang tidak pasti (waham) dan prasangka (zhan), tanpa menggunakan ukuran yang pasti dan meyakinkan, tanpa ilmu pengetahuan yang jelas dan ukuran yang konkret. Jika tidak hati-hati dan banyak sembarang orang memasuki medan ini, maka dapat diduga kuat, tak ada seorang Muslim pun yang selamat dari tikamannya; mereka pasti akan dicap “kafir”, terutama ketika tidak sejalan dengan pikiran dan pendapat atau —mungkin— mazhabnya.
Demikian pula, tidak boleh siapa pun mengkafirkan orang lain hanya karena melihatnya melakukan kemaksiatan (banyak atau sedikit), padahal dia masih mempunyai keimanan dan mengikrarkan dua kalimat syahadat. Dalam hubungan ini. Rasulullah Saw —dalam hadis yang diterima Anas bin Malik— bersabda: Tiga hal yang merupakan inti (asal) keimanan: 

Berhenti (dari mengkafirkan) dari orang yang mengucapkan laa ilaaha illaLlah; tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut karena dia berbuat dosa. Tidak mengeluarkannya dari (kelompok) Islam hanya karena perbuatan [maksiat) . —dan jihad pun tetap berlaku sejak aku diutus menjadi Nabi.. sampai umatku yang paling akhir (yang) memerangi Dajjal, jihad tidak akan dibatalkan/dihapus karena kezaliman orang yang zalim ataupun karena keadilan orang yang adil. Dan (yang ketiga) keimanan kepada qadar. (H.R. Abu Dawud r.a)
Imam Haramain berkata: “Jika dikatakan kepada kita: ‘Pisahkan — secara rinci— ungkapan atau perilaku yang mengandung kekafiran dan yang tidak begitu, kami pasti akan menjawab: ‘Ini suatu keinginan yang bukan pada tempatnya karena (hak) mengkafirkan orang Iain termasuk yang sangat jauh jangkauannya dan sangat dalam wawasannya, yang harus dikaji dari asal-usul (pokok-pokok) tauhid. Siapa saja yang tidak mengetahui sesuatu sampai pada hakikat(pokok)nya, tidak mungkin mengetahui cara membukti-kan data kekafiran seseorang secara pasti berdasarkan data dan dalil.”
Oleh karena itu, kami menyarankan supaya setiap Muslim berhati-hati untuk mengecap orang lain dengan cap “Kafir”, terlebih dalam masalah-masalah di luar apa yang telah disebutkan dan dijelaskan di atas, karena pekerjaan sepeti itu mengandung bahaya yang besar. Dan —sebetulnya— hanya Allah-Iah yang dapat menunjukkan seseorang ke jalan yang lurus, dan hanya kepada-Nya-lah kita semua akan dikembalikan. Wallahu a’lam (hanya Allah yang lebih mengetahui yang paling benar). 

2. Sikap Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab
Ketika Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mengetahui apa yang disandarkan (dinisbatkan) kepadanya mengenai berbagai paham agama, beliau menanggapinya dengan sikap yang sangat agung. Antara lain beliau mengatakan:
Tentu tidak samar lagi pada Tuan-tuan, telah sampai (berita) kepadaku bahwa risalah Sulaiman bin Suhaim telah sampai kepada Tuan-tuan dan telah diterima bahkan dibenarkan oleh sebagian orang yang mengaku sebagai ahli ilmu dari golongan Tuan-tuan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah Swt pun mengetahui bahwa orang telah melakukan kebohongan terhadapku mengenai beberapa masalah yang sebetulnya belum pernah aku katakan, bahkan kebanyakan tidak pernah terbetik dalam benakku untuk mengatakannya.
Di antara yang dikatakannya, bahwa aku membatalkan (tidak mengakui) kitab-kitab imam mazhab yang empat; bahwa aku berkata, “Sesungguhnya manusia —sejak 600 tahun— itu tidak mempunyai kemampuan apa-apa”; bahwa aku juga mengaku sebagai Imam Mujtahid, bahwa aku keluar dari taqlid; bahwa aku —katanya— mengatakan, “Perbedaan para ulama itu merupakan niqmat (siksaan)”; bahwa aku mengkafirkan orang yang bertawasul, mengkafirkan Al-Bushiri yang mengatakan (kepada Nabi Muhammad Saw): “Wahai makhluk yang paling mulia (ya akrama al-kholqi”; bahwa aku mengatakan, “Jika aku mampu menghancurkan kubah Rasulullah Saw, pasti aku akan menghancurkan-nya, dan jika aku berkuasa (untuk berbuat sesuatu) terhadap Kabah, tentu aku akan menggantikan saluran airnya dengan kayu”; bahwa aku juga mengharamkan ziarah ke kuburan Nabi Muhammad Saw dan kuburan kedua orangtua; bahwa aku mengkafirkan orang yang bersumpah dengan nama selain Allah; bahwa aku mengkafirkan Ibn Al-Faridl dan Ibnu Arabi; bahwa aku pernah membakar kitab Dalail Al-Khairat dan kitab Raudl Al-Rayyahin bahkan menyebutnya sebagai kitab Raudl Al-Syayathin.
Jawabanku atas semua tuduhan itu adalah: “Aku hanya berkata, ‘Subhanaka hadza buhtanun ‘azhim ‘Mahasuci Engkau, ya Allah. Ini adalah suatu kebohongan yang besar’.” Sebelum peristiwa seperti ini, pernah juga ada orang yang berdusta kepada Nabi Muhammad Saw: bahwa beliau itu mencaci maki Nabi Isa, putra Maryam, menghina orang-orang saleh. Maka hati mereka (yang hidup pada zaman Nabi Muhammad Saw) dan hati mereka (yang hidup pada zaman sekarang) itu mempunyai kesamaan, yakni penuh dengan upaya kebohongan terhadap orang lain dan mengatakan perkataan-perkataan yang palsu. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan itu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta,” (Q.S. Al-Nahl [16]: 105)
Mereka (yang hidup di zaman Nabi) pun mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Malaikat, Nabi Isa, dan Uzair itu pasti masuk neraka”. Dalam konteks itulah, Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang telah berlalu bagi mereka pemberian dari Kami (berupa) al-husna (kebaikan/petunjuk), mereka itu dijauhkan dari neraka.” (Q.S. Al-Anbiya’ [21]: 101) Perhatikan surat pribadi Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkenaan dengan karyanya yang telah menyebar luas dengan perhatian dan dana dari Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud Al-Islamiyyah. 

3. Surat Penting Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab
Di bawah ini adalah surat yang dikirimkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada (Al-Ustadz) Su’adi. Ulama Irak ini telah mengirim sebuah kitab kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan menanyakan kepadanya mengenai apa yang banyak dikatakan umat Islam berkenaan dengan beliau, lalu Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab menjawabnya dengan jawaban berikut:
Sesungguhnya menyebarluaskan kebohongan itu termasuk perbuatan yang sangat memalukan, dan tidak baik dilakukan oleh orang yang berakal, cerdik-pandai, apalagi melakukan kebohongan secara langsung. Kalian telah berdusta bahwa aku telah mengkafirkan semua orang kecuali yang mengikutiku. Apakah perkataan seperti ini wajar dikatakan oleh seorang yang berakal, dan mungkinkah seorang Muslim melakukan-nya? Kalian juga telah berbohong bahwa jika aku mampu menghancur-kan kubah Nabi Muhammad Saw, pasti akan menghancurkannya; bahwa aku mengharamkan penggunaan kitab Dalail Al-Khairat bahkan pernah membakarnya; bahwa aku melarang bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw dengan bentuk nazham/susunan bagaimanapun. Itu semua adalah kebohongan belaka. Mahasuci Engkau, ya Allah. Ini adalah kedustaan dan kebohongan belaka.
Pada bagian lain (halaman 64 dari kitab Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab), disebutkan:
Kamu sekalianjuga mengatakan bahwa aku mengkafirkan orang-orang yang bertawasul kepada orang-orang saleh, dan aku mengkafirkan Al-Bushiri karena dia mengatakan: Ya akrama Al-Khalqi, Wahai makhluk yang paling mulia (yakni Nabi Muhammad Saw)’; bahwa aku juga mengingkari ziarah ke kuburan Nabi Muhammad Saw; bahwa aku mengkafirkan orang yang bersumpah atas nama selain Allah; dan bahwa aku mengingkari ziarah ke kuburan kedua orangtua.
Jawabanku atas semua itu: “Subhanaka hadza buhtanun ‘azhim; Mahasuci Engkau, ya Allah. Ini adalah suatu kebohongan yang besar.”[Q.S. Al-Nur [24]: 16) ‘” ‘  

4. Mencaci Muslim Itu Suatu Kefasikan, Membunuhnya adalah Suatu Kekufuran
Ketahuilah, membenci, memusuhi, dan membelakangi Muslim itu diharamkan. Mencaci makinya merupakan suatu kefasikan (kedurhakaan atau dosa), dan membunuhnya —tanpa alasan yang benar— adalah suatu kekufuran atau mengakibatkan kekafiran.
Berkenaan dengan masalah ini, terdapat suatu hadis yang nampaknya akan sangat menjerakan (dan menakutkan) setiap Muslim yang mengetahui-nya. Dalam hadis itu disebutkan suatu peristiwa mengenai Khalid bin Walid ketika ia diutus memimpin pasukan ke Bani Judzaimah untuk mengajak mereka ke dalam Islam. Sesampainya pada mereka, mereka pun menerima-nya. Lalu Khalid berkata kepada mereka: “Masuklah ke dalam Islam!” Mereka menjawab: “Kami adalah kaum Muslimm.” Khalid bin Walid berkata lagi: “(Jika begitu), letakkanlah pedangmu dan turunlah (dari bukit).” Mereka menjawab: “Tidak. Demi Allah, tidak ada setelah meletakkan pedang selain pembunuhan. Kami masih belum merasa aman dari kalian dan orang-orang yang bersama kalian.” Khalid berkata dengan tegas: “Tidak ada keamanan bagi kalian kecuali jika kalian meletakkan senjata dan turun (dari bukit).” Sebagian mereka — setelah mendengar ancaman itu— meletakkan senjatanya, dan sebagiannya lagi berpencaran.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ketika Khalid bin Walid sampai kepada kaum Judzaimah, mereka menyambutnya dengan baik. Lalu, Khalid berkata: “Bagaimanakah kalian? Sudah Muslim atau masih kafir?” Mereka menjawab: “Kami adalah Muslimin. Kami pun telah biasa mendirikan shalat, membenarkan kenabian Nabi Muhammad Saw. Kami juga telah membangun beberapa mesjid di halaman rumah kami, dan kami biasa mendengungkan azan di dalamnya.” Mereka tidak mengatakan: “Aslamna, “Kami telah masuk Islam” atau “Kami telah menyerah”, tetapi: “Shaba’na, shaba’na.” “Kami menyerah, kami menyerah”. Kemudian, Khalid bin Walid berkata kepada mereka: “Mengapa kalian masih menyandang pedang?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya di antara kami dan sebagian orang-orang Arab ada permusuhan. Kami takut, jangan-jangan kalian seperti mereka itu. Maka kami pun tetap menyandang pedang.” Khalid bin Walid berkata: “(Sekarang) simpanlah pedang kalian!” Mereka akhirnya meletakkan pedangnya. Kemudian Khalid bin Walid berkata kepada prajuritnya: “Tawanlah mereka.” Dia perintahkan sebagiannya untuk ditawan, sedangkan yang lainnya tidak dijadikan tawanan, lalu digabungkan dengan sahabat-sahabat Khalid bin Walid. Ketika waktu sahur tiba, terdengar seseorang — atas perintah Khalid bin Walid— berseru: “Siapa yang padanya terdapat tawanan, hendaklah dia membunuhnya.” Bani Sulaim pun membunuh tawanannya, sedangkan orang-orang Anshar dan Muhajirin tidak mau melakukannya bahkan mereka melepaskan tawanannya. Ketika berita mengenai perlakukan Khalid bin Walid — terhadap tawanannya— sampai kepada Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Allahumma, inni abra’u ilaika min ma shana’a Kholidu; Ya Allah aku mohon dibebaskan dari apa yang diperbuat Khalid.” Beliau mengucapkannya dua kali.
Ada yang mengatakan bahwa dalam pemahaman Khalid bin Walid, mereka —kaum Judzaimah— menyatakan pernyataan masuk Islam itu dengan kata shaba’na… shaba’na hanya karena terdesak dan mereka sebetulnya tidak akan menaati ajakan untuk masuk Islam. Namun, Rasulullah Saw tidak menyetujui perbuatan Khalid itu karena dia terlalu tergesa-gesa dan tidak berhati-hati dalam menghadapi mereka sebelum dia sendiri paham betul kata shaba’na. Rasulullah Saw sendiri pernah berkata: “Sebaik-baik abdi Allah adalah Akhu Al- ‘Asyirah, Khalid bin Walid. Dia salah seorang (salah satu) pedang Allah yang terhunus untuk menghadapi orang-orang munafik dan kafir.”
Demikian pula mengenai kisah Usamah —kekasih Rasulullah Saw dan putra dari kekasih beliau— seperti diriwayatkan Imam Bukhari r.a. dari Abu Zhibyan yang menyatakan bahwa Usamah bin Zaid pernah berkata: “Kami pernah diutus oleh Rasulullah Saw ke suatu kaum (al­hirqah). Kami datangi mereka di waktu pagi sehingga kami dapat mematahkannya. Aku dan seorang Anshar menemukan seseorang yang ketika kami sergap, dia mengatakan “La ilaha illa Allah Tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah”. Orang Anshar itu tidak mau membunuhnya. Akulah yang menikamnya dengan tombakku sampai ia mati. Ketika kami kembali dari peperangan itu, berita tentang peristlwa tersebut sampai kepada Rasulullah Saw. Maka beliau bersabda: ‘Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan La ilaha illa Allah’. Aku menjawab: ‘Kana muta’awwidzan, Dia mengucapkan itu hanya ingin dilindungi’. Beliau terus-menerus mengulangi sabdanya itu sampai-sampai aku berkeinginan (melamun) hari itu (lebih baik) aku belum masuk Islam.” Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada Usamah bin Zaid: “Ala syaqqaqta qolbahu fa ta’lam ashadiqun am kadzihun, Mengapa tidak engkau bedah saja hatinya sehingga kamu mengetahui benar kebohongannya?” Usamah berkata: “Aku tidak akan memerangi (membunuh) seseorang yang mengatakan La ilaha illa Allah.”
Imam Ali —karramallahu wajhah, semoga Allah memulia-kannya— pernah ditanya mengenai orang-orang (kelompok-kelompok) yang menentangnya. Ada yang bertanya kepadanya: “Apakah mereka itu orang-orang kafir?” Imam Ali menjawab: “Tidak. Mereka itu jauh dari kekufuran.” Ada lagi yang bertanya: “Apakah mereka itu orang-orang munafik?” “Tidak. Sesungguhnya orang-orang munafik itu tidak berzikir kepada Allah kecuali sedikit. Mereka yang mengkhianatiku itu banyak berzikir kepada Allah Swt.” Ada yang mendesaknya dengan pertanyaan: “Lalu, siapakah mereka itu.” Beliau menjawab: “Mereka adalah kaum yang tertimpa fitnah (adu-domba) lalu menjadi buta dan tuli.”

5. Perbedaan antara Kedudukan Khalik dan Kedudukan Makhluk 
 Perbedaan antara “kedudukan” (maqam) Khalik dan makhluk merupakan batas pemisah antara keimanan dan kekufuran. Harus diyakini bahwa siapa pun yang menyamakan kedua maqam tersebut, ia menjadi kafir. Semoga Allah melindungi kita dari karakter seperti itu.
Setiap maqam tersebut memiliki hak-hak yang khusus. Dalam bab ini ada beberapa masalah yang diungkapkan, berkaitan erat dengan pribadi Nabi Muhammad Saw, khususnya berkenaan dengan segala kelebihan dan keistimewaan Nabi yang dengan karakteristik itu tampak jelas perbedaan junjungan kita itu dengan manusia lainnya dan terbukti beliau jauh lebih mulia dibandingkan manusia —bahkan makhluk apa pun— di dunia ini. Bagi mereka yang hanya mempunyai kemampuan intelektualitas yang pas-pasan dan pemikiran yang lemah serta pandangan yang sempit, berbagai hal dan masalah tersebut tampaknya akan melahirkan keraguan dalam memahami dan menyikapinya.
Tidak sedikit dari mereka yang memahami kelebihan dan keistimewaan Nabi Muhammad Saw dengan pemahaman yang salah. Mereka —yang mem-punyai karakteristik buruk itu— kemudian memvonis bahwa orang-orang, termasuk para Nabi, yang mempunyai keistimewaan dan kelebihan itu sebagai orang-orang kafir yang keluar dari wilayah keislaman. Karena, menurut mereka, mereka yang mempunyai kemampuan istimewa atau luar biasa itu telah melakukan berbagai hal yang menjadi hak otoriter Allah Swt. Dalam pandangan mereka, makhluk yang mempunyai kemampuan istimewa —biasanya berhubungan dengan hal-hal agak gaib— itu telah berdusta dan menyamaratakan antara maqam Khalik dan makhluk.
Dalam pemahaman mereka, mengakui keistimewaan Nabi, berarti mengangkat derajat Nabi ke derajat Tuhan. Padahal, kita terbebas diri dari keinginan dan niat untuk beranggapan seperti itu.
Sesungguhnya kita —dengan karunia Allah Swt— mengetahui dan mengakui apa yang menjadi hak otoritas Allah Swt dan apa yang wajib ada pada Nabi (Muhammad Saw). Kita juga mengetahui apa yang hanya menjadi hak Allah Swt dan apa yang hanya menjadi hak Rasulullah Saw, tanpa melebihi batas-batas (kemanusiaannya). Kita sadar sepenuhnya bahwa kelebihan dan keistimewaan Nabi Muhammad Saw —dalam berbagai bentuk-nya— tidak akan mengangkatnya sampai ke derajat Tuhan, baik sebagai Tuhan yang disembah (ilaah) maupun sebagai Tuhan yang mengurus alam ini (rabb). Ketahuilah, mengakui berbagai macam mukjizat Nabi Muhammad Saw tidak berarti mengakui Nabi sebagai makhluk yang mempunyai karakter-karakter sempurna dan segala maha sebagai­mana yang dimiliki Allah Swt, umpamanya “Mahakuasa”, “Mahakuat”, “Mencipta(kan)”, “Raja Mahakuasa”, “yang mengurus dunia”, “Yang Mahaagung”, Yang Berhak disucikan dan disembah dengan berbagai cara ibadah, dalam berbagai keadaan, dan dengan berbagai macam tingkatannya.
Adapun al-ghuluwwu, “berlebihlebihan” berupa kesungguhan dalam mencintai Nabi Muhammad Saw, menaatinya, dan menegaskan komitmen yang kuat, justru merupakan sikap yang dituntut oleh Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dicantumkan dalam sabdanya —hadis shahih yang diriwayat-kan Imam Muslim (dalam hadis itu disebutkan bahwa kesempurnaan iman seseorang sangat ditentukan oleh kesungguhan cinta dan komitmennya kepada Nabi Muhammad Saw, melebihi cinta dan komitmennya kepada makhluk lain. pen.). Rasulullah Saw juga pernah bersabda,
Janganlah kamu melebihkan —atau mengistimewakan— aku, sebagai­mana orang-orang Nasrani melebihkan (Nabi Isa) putra Maryam.
Maksud yang logis dari hadis tersebut adalah bahwa jika hanya berupa kesungguhan dalam mencintai Nabi dan memujinya —tidak mentuhankan-nya—maka itu tetap baik, bahkan terpuji. Jika tidak demikian, maka maksudnya melarang —kita semua— mengistimewakan dan memuji-muji Nabi Muhammad Saw secara total, dalam berbagai bentuk dan manifestasi-nya. Tetapi makna dan kandungan yang terakhir ini tidak akan dipahami dan (tidak akan) dikatakan oleh manusia Muslim terbodoh sekali pun, apalagi oleh seorang ulama besar. Bukankah Allah Swt telah memuji Nabi Muhammad Saw dan menyanjungnya —di dalam Al-Qur’an— dengan pujian atau sanjungan yang sangat tinggi. Maka kita wajib mengagungkan orang yang diagungkan Allah Swt yang juga memerintahkan kita supaya mengagungkannya. Meskipun demikian, tentu saja kita diwajibkan pula untuk tidak menyifati Nabi yang agung itu dengan segala sifat dan karakter Allah Swt. Benarlah yang dikatakan seseorang —semoga rahmat Allah baginya: “Tinggalkanlah apa yang diakui orang-orang Nasrani tentang nabinya. Dan tetapkanlah olehmu, hai manusia, suatu pujian terhadap Nabi dan pertahankanlah (prinsipmu) itu”.
Mengakui Nabi Muhmmad Saw dengan segala sifatnya yang bagus dan istimewa, selain dengan sifat-sifat ketuhanan, sama sekali tidak mengandung kekufuran atau kemusyrikan. Bahkan, yang demikian itu justru raerupakan ketaatan dan pengorbanan yang sangat tinggi dari seorang Muslim. Demikian pula halnya mengagungkan orang-orang yang diagungkan oleh Allah Swt, seperti para Nabi dan rasul a.s. Juga terhadap para malaikat, shiddiqin, yang kuat imannya dan jujur”, syuhada, yang mati syahid, dan orang-orang saleh (lainnya). Perhatikanlah firman Allah Swt berikut: “Demikianlah(perintah Allah). Dan barangsiapa yang mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya disisi Tuhannya“. (Q.S. Al-Hajj 122]: 30). Juga dalam firman-Nya yang lain: “Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (Q.S. Al-Hajj [22]: 32)
Di antara syiar-syiar —ciri-ciri keagungan Allah— itu adalah Al-Ka’bah Al-Mu’azhzhamah, “Kabah yang diagungkan”, Hajar Aswad, dan Maqam Nabi Ibrahim a.s. Itu semua adalah batu-batu yang kita diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengagungkannya, dengan cara mengelilingi Kabah [tawaf) mengusap Rukun Yamani dan mencium Hajar Aswad serta melakukan shalat di belakang Maqam Nabi Ibrahim
a.s. Kita juga diperintahkan berhenti untuk berdoa di tempat-tempat mustajab, seperti di pintu Kabah dan di Multazam. Ketika melakukan itu semua, kita tidak (bemiat) menyembah selain Allah Swt. 
Bahkan, kita juga tidak berkeyakinan akan adanya pengaruh selain kekuasaan Allah Swt, baik ketika memberi manfaat maupun ketika menimpakan mudarat atau bahaya. Tidak ada sedikit pun dari itu semua terjadi karena pengaruh dan kekuasaan seseorang selain Allah Swt. 

6. Kedudukan Makhluk 
 Berkenaan dengan Nabi Muhammad Saw, kita meyakininya sebagai manusia biasa. Oleh karena itu, bisa saja beliau terkena apa pun yang biasa mengenal manusia lainnya, seperti sifat-sifat kemanusiaan dan berbagai penyakit, yang tidak mengurangi kredibilitasnya sebagai Nabi dan tidak mengubahnya. Benar apa yang dikatakan seorang ahli akidah: “Boleh saja mereka —para Nabi— terkena sifat yang lazim menimpa manusia biasa yang tidak mengurangi (keredibilitas)-nya, seperti sakit yang ringan”.
Menurut keyakinan yang benar, Nabi Muhammad Saw adalah seorang hamba Allah Swt yang tidak mempunyai kekuasaan —bagi dirinya— untuk menimpakan mudarat, memberi manfaat, mematikan, atau menghidupkan, juga tidak membangkitkan kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah Swt. Dalam kaitannya dengan problematika ini, Allah Swt berfirman, “Katakanlah, hai Muhammad, Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) kuasa menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah, Dan jika aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sehanyak-hanyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 188)
Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw telah memenuhi risalah, menyampaikan amanah, menasihati umat, melepaskan kebingungan dan kegundahan umat, serta berjihad di jalan Allah dengan penuh kesungguhan sampai titik darah penghabisan. Setelah itu, beliau pindah ke Haribaan Allah Swt dengan penuh kesenangan dan keridaan. Allah Swt menegaskan, “Sesungguhnya engkaupasti mati dan sesungguhnya merekapun akan mati” (Q.S. Al-Zumar [39]: 30). Pada surat lain disebutkan pula: “Kami tidak menjadikan hidup abadi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati apakah mereka akan kekal?” (Q.S. Al-Anbiya’ [21): 34)
Nabi Muhammad Saw sendiri menyatakan dengan tegas bahwa ia sangat bangga dan senang karena dijadikan Allah sebagai hamba-Nya. Sifat ‘ubudiyyah, sebagai hamba Allah, itulah yang cocok dan benar bagi junjungan kita yang diagungkan Allah Swt itu. Dengan tegas, beliau bersabda, “Innama ana ‘abd - Sesungguhnya aku hanyalah seorang abid, hamba Allah Swt.” Memang begitulah Allah Swt menyifati Nabi Muhammad sebagai hamba-Nya, sebagaimana diflrmankan-Nya, “Mahasuci Zat yang telah memperjalankan hamba-Nya” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 1).
Masih banyak ayat Al-Qur’an yang senada. Ada satu hal yang sangat istimewa bagi junjungan kita, Nabi Muhammad Saw. Meskipun begitu tingginya sanjungan dan pujian Allah Swt terhadapnya, beliau adalah manusia biasa seperti umumnya manusia. Meskipun demikian, dari sisi kualitas pribadi, beliau jelas jauh berbeda dengan umumnya manusia, bahkan jika dibanding dengan para Nabi sekalipun. Tidak ada seorang manusia pun yang menandingi kemuliaannya. Tidak ada pula yang serupa dengannya dari segi keistimewaannya. Beliau sendiri pernah mengaku terus terang —mengenai keistimewaannya— yang diterimanya dari karunia Allah Swt. Beliau bersabda,

“Sesungguhnya aku tidak seperti perilaku (karakter) kamu. Aku tidur di sisi Tuhanku sambil diberi makan dan minum.”
Dengan demikian, jelaslah bahwa mengakui Rasulullah, Nabi Muhammad Saw, sebagai manusia biasa itu wajib disertai dengan pengakuan terhadap berbagai keistimewaan dan kekhususannya, bahwa Rasulullah tidak bisa disamakan dengan (kebanyakan) manusia lainnya. Demikian pula sikap kita terhadap Nabi-Nabi dan rasul-rasul lainnya. Dengan cara pandang seperti itu, kita memandang para Nabi dan rasul itu sesuai dengan maqam atau kedudukannya, yakni sebagai Nabi dan rasul utusan Allah Swt.
Jika kita menilai para Nabi dan rasul hanya dari sisi kemanusiaannya, tanpa mengaitkannya dengan ciri-ciri khasnya sebagai Nabi dan rasul, maka kita telah terjerumus ke dalam tradisi dan sikap orang-orang jahiliah, orang-orang tak beradab, yang menyamaratakan para Nabi dan rasul dengan manusia lainnya. Sebagai contoh, penilaian kaum Nabi Nuh a.s. mengenai pribadi beliau a.s. sebagaimana dihikayatkan Allah dalam Al-Qur’an: “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak melihat kamu kecuali (sebagai) manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu. adalah orang-orang yang dusta’.” (Q.S. Hud [11]: 27). Contoh lainnya adalah apa yang dikatakan kaum Nabi Musa dan Nabi Harun a.s. sebagaimana dihikayatkan Allah Swt dalam Al-Qur’an: “Mereka berkata: ‘Apakah kamu (pantas) beriman kepada kedua manusia seperti kita juga, padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 27) Demikian pula yang dikatakan kaum Tsamud kepada Nabi mereka, yaitu Nabi Saleh a.s., sebagaimana dihikayatkan Allah Swt kepada mereka dalam Al-Qur’an Al-Karim: “Tiadalah kamu kecuali (sebagai) manusia seperti kami. Maka datangkanlah suatu ayat (tanda kenabianmu) jika memang kamu termasuk yang benar.” (Q.S. Al­Syu’ara[26]: 154)
Hal yang sama pernah juga dilakukan oleh kaum Nabi Syu’ayb a.s. Mereka menuduh beliau sebagai orang yang terkena sihir, manusia biasa, bahkan sebagai manusia pendusta [lihat Q.S. Al-Syu’ara [26]: 186). Demikian pula yang dikatakan orang-orang musyrik, “yang menyekutukan Allah Swt” terhadap Nabi Muhammad Saw. Mereka hanya meyakini Nabi Muhammad Saw sebagai manusia biasa, suka makan dan minum bahkan biasa berjalan- jalan di pasar, dan sifat­sifat manusiawi lainnya. Hal itu sebagaimana dihikayatkan Allah Swt dalam kitab-Nya: “Dan mereka berkata, ‘Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat, agar malaikat itu memberi peringatan hersama-sama dengan dia.” (Q.S. Al-Furqan [25]: 7)
Rasulullah Saw sendiri telah menyatakan —melalui sabdanya— bahwa Allah Swt telah memberinya sifat-sifat mulia dan menguatkan kenabiannya dengan berbagai mukjizat dan keistimewaan yang membedakannya dari manusia lain. Di antara yang disabdakan Nabi sendiri mengenai pribadinya adalah seperti yang disebutkan dalam salah satu hadis shahih berikut:
 “Kedua mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur: Sesungguhnya aku dapat melihat kamu dari belakang punggungku sebagaimana aku melihatmu. dari depanku“.
Beliau juga bersabda:
“Aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi“.
Meskipun, secara fisik, telah wafat, tetapi beliau masih hidup dengan kehidupan barzakhiyyah —di alam barzakh— secara sempurna. Beliau dapat mendengar perkataan (orang yang masih hidup di dunia) dan mendengar salam mereka serta menjawabnya.
Setiap shalawat yang diucapkan pun didengarnya. Bahkan, segala amal perbuatan umatnya juga diperlihatkan kepadanya. la merasa senang dengan amal saleh orang-orang baik, dan selalu memintakan ampunan bagi umatnya yang suka melakukan dosa. Sesungguhnya Allah Swt mengharamkan bumi menghancurkan jasad (para) Nabi a.s. Jadi, jasad Nabi Muhammad Saw itu terpelihara dari berbagai faktor perusak atau penghancur yang dimiliki oleh bumi.
Diriwayatkan dari Aus bin Aus r.a.:

Rasulullah Saw bersabda, “Di antara harimu yang paling mulia adalah hari Jumat. Pada hari itulah (Nabi) Adam dlciptakan, dan pada hari itu pula ia diwqfatkan. Pada hari Jumat pula terjadi nafkhah, ditiupnya sangkakala, dan pada hari itu juga terjadi sha’qah, petir dahsyat atau kiamat. Maka perbanyak-lah membaca shalawat kepadaku pada hari tersebut. Sebab shalawat kalian itu akan diperlihatkan kepadaku.” Mereka. para sahabat, bertanya: “Ya Rasul, bagaimana mungkin shalawat kami diperlihatkan kepadamu padahal engkau telah hancur?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas bumi menghancurkan jasad para Nabi (a.s.).” (H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, Imam Hakim juga menshahihkannya)
Berkenaan dengan masalah tersebut, Imam Suyuthi menulis risalah khusus yang dinamainya Anba’ Al-Adzkiya’ bi-Hayat Al-Anbiya’, Pemberitaan Orang-orang Cerdas mengenai Perikehidupan Para Nabi”.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a., dari Rasulullah Saw yang bersabda:

 “Hidupku sangat baik bagi kamu sekalian. Kalian memberitahukan (dariku) dan diberitahukan (dariku) kepada kalian. Maka jika aku telah meninggal, wafatku (pun) sangat baik bagimu, Amal perbuatanmu diperlihatkan kepadaku. Jika aku melihat kebaikan, aku memuji Allah; dan jika aku mengetahui perbuatan jelek yang kalian lakukan, aku memohon ampunan bagi kamu sekalian.” (Al- Haytsami mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan rizal-nya shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah Saw bersabda:

Tidak ada seorangpun yang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah mengembalikan kepadaku ruhku sehingga aku (dapat) menjawab salamnya. (H.R. Abu Dawud dan Imam Ahmad). Menurut sebagian ulama, maksud kalimat radda ‘alayya ruhi adalah bahwa Allah mengembalikan kepadaku kemampuan untuk berbicara.
Diriwayatkan pula dari ‘Ammar bin Yasar r.a. la mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

Sesungguhnya Allah Swt mewakilkan —pada kuburanku—seorang malaikat yang kepadanya diberikan nama-nama makhluk. Maka tidak ada seorang pun yang membaca shalawat padaku sampai hari kiamat kecuali ia memberitahukan kepadaku nama orang tersebut beserta nama ayahnya “Ini Si Polan bin Polan telah membaca shalawat kepadamu”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Abu Al-Syaikh bin Hibban dengan kata-kata:

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Mahamulia dan Mahatinggi mempunyai malaikat yang kepadanya diberikan nama­nama makhluk. Malaikat tersebut berdiri di atas kuburanku jika aku telah mati. Maka tidak ada seorang pun yang membaca shalawat kepadaku, kecuali malaikat itu berkata, Ya Muhammad, Polan bin Polan membaca shalawat kepadamu”. Beliau bersabda, ‘Maka Tuhan Yang Mahamulia dan Mahatinggi memberi kepada orang tersebut bagi setiap kali shalawat sepuluh (kebaikan)‘.” (H.R. Imam Thabrani dalam Al-Kabir yang seperti itu)
Hadis-hadis seperti itu masih banyak dan akan dikemukakan pada bahasan lain dari artikel ini. Tetapi, para ulama biasanya mendapatkan berbagai kesimpulan walaupun melalui satu hadis.
Berdasarkan hadis tersebut, jelaslah bahwa meskipun telah wafat secara fisik, tetapi kemuliaan, keutamaan, kedudukan, dan maqam Rasulullah Saw yang tinggi di sisi Tuhannya itu tetap langgeng bagi orang beriman yang tidak mempunyai keraguan. Oleh karena itu, bertawasul dengan perantaraan kemuliaannya kepada Allah itu sesungguhnya kembali kepada keyakinan akan hal-hal tersebut dan keyakinan bahwa ia dicintai dan dimuliakan oleh Allah, juga berpulang kepada keyakinan akan kedudukan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan rasul utusan Allah. Sikap seperti itu, atau tawasul yang demikian itu, bukanlah suatu penyembahan kepadanya. Sebab, setinggi apa pun derajat Nabi, ia adalah seorang makhluk ciptaan Allah Swt. Sebagai makhluk, ia tidak berkuasa memberi manfaat dan tidak akan mampu menolak mudarat kecuali jika Allah mengizinkannya. Dalam konteks ini, Allah Swt berfirman, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa seperti kamu yang diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya Tuhan-mu adalah Tuhan Yang Esa’.” (Q.S. Al-Kahfl [18]: 110)
7. Beberapa Hal yang Menjadi Hak Khalik dan Hak Makhluk
Ada beberapa hal yang menjadi hak Khalik dan hak makhluk yang, jika dipahami secara benar dan proporsional, sebetulnya tidak bertentangan dengan ke-Mahasuci-an Sang Khalik, Allah Swt. Mereka yang tidak dapat memahaminya secara proporsional dan komprehensif, tentu akan menyangka bahwa penisbatan hal-hal tersebut kepada makhluk merupakan perbuatan syirik.
Di antara hal-hal yang menjadi hak Khalik, yakni Allah, dan dapat juga menjadi hak makhluk —dengan karakteristik yang jauh berbeda di antara keduanya, dan dengan izin-Nya— adalah masalah keistimewaan kenabian yaitu berbagal keistimewaan yang terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw. Banyak orang yang sempit pandangannya dan tidak mampu memahami masalah secara benar dan proporsional —yaitu mereka yang hanya meng-gunakan tolok ukur yang biasa digunakan oleh manusia— menganggap bahwa mengakui hal-hal luar biasa bagi Nabi Muhammad Saw merupakan perbuatan syirik, bahwa menyifati Nabi dengan sifat-sifat luar biasa itu sama seperti menyifati Allah Swt. Keyakinan seperti itu jelas suatu kebodohan. 
Sebab, Allah Swt mempunyai hak untuk memberi apa saja kepada siapa saja tanpa ada yang menentukan atau memaksa-Nya.
Apa yang diberikan-Nya merupakan karunia bagi siapa saja yang Dia kehendaki untuk dimuliakan, diangkat kedudukannya, dan ditampakkan kelebihannya terhadap yang lain. Kebijaksanaan-Nya sama sekali bukan merupakan pencabutan hak-hak Allah sebagai Rabb, Pengurus alam, juga tidak mengurangi sifat-sifat-Nya sebagai Tuhan yang disembah.
Hak-hak Allah sebagai Tuhan yang mengurus alam dan sifat-sifat-Nya sebagai Tuhan yang disembah tetap terpelihara sesuai dengan Maqam-Nya. Jika ada makhluk yang mempunyai sifat-sifat istimewa, maka sifat-sifat itu hanya sebatas keistimewaan manusiawi yang didapat dari karunia Allah, dengan izin dan kehendak-Nya, bukan dengan kekuatan makhluk dan pengurusannya, juga bukan karena perintahnya. Sebab, makhluk itu lemah dan tidak berkuasa memberi manfaat bagi dirinya, dan tidak berkuasa pula menolak bahaya dari dirinya sendiri. Makhluk tidak mempunyai kekuasaan untuk menciptakan hidup dan menolak kematian sekalipun bagi dirinya sendiri. Banyak hal istimewa yang nampak sebagai hak Allah Swt, tetapi Dia berkenan memberikannya kepada Nabi-Nya, Nabi Muhammad Saw dan Nabi atau rasul lainnya. Ketika itu terjadi, maka ia —Nabi atau rasul—bagai-manapun tidak mengangkat derajatnya sampai ke derajat atau maqam Tuhan, atau menjadi sekutu-Nya.
Di antara keistimewaan-keistimewaan tersebut adalah syafa’at. Syafa’at, menurut hakikatnya, hanya milik Allah Swt, sebagaimana ditegaskan-Nya: “Katakanlah: ‘Hanya milik Allah-lah syafa’at itu semuanya” (Q.S. Al-Zumar [39]: 44). Tetapi, syafa’at juga menjadi hak —untuk memberikannya— Nabi Muhammad Saw dan yang lainnya dengan izin Allah Swt. Dalam hadis Rasulullah Saw disebutkan, “Aku diberi syafa’at.” Dalam hadis lain disebut-kan, “Aku adalah syafi’ (pemberi syafaat) pertama, dan musyfa’ (yang diberi hak syafa’at) pertama kali pula”.
Keistimewaan lainnya adalah ilmu gaib. Menurut asalnya, mengetahui yang gaib hanya milik Allah Swt, sebagaimana difirmankan-Nya: “Katakanlah, Tidak ada yang mengetahui yang gaib —di langit dan di bumi— selain Allah Swt’. “Tetapi, harus diakui bahwa Allah Swt juga mengajari Nabi-Nya tentang yang gaib tersebut. Allah Swt berfirman: “(Allah itu) Yang Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak menampakkan kegaiban-Nya kepada seorang pun kecuali kepada rasul yang diridai-Nya”.
Keistimewaan lainnya —yang menjadi hak Khalik dan makhluk— adalah (memberi) hidayah atau memberi petunjuk.
Menurut aslinya, memberi hidayah adalah hak khusus bagi Allah Swt, sebagaimana difirmankan-Nya: “Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau sukai, tetapi Allah-lah yang memberi hidayah —menunjuki— siapa saja yang dikehendaki-Nya”. Tetapi dalam ayat lain kita temukan bahwa Nabi Muhammad Saw diberi hak untuk memberikan hidayah atau menunjuki manusia ke jalan yang lurus. Allah Swt berfirman: “Dan sesungguhnya kamu sungguh (dapat) menunjukkan ke jalan yang lurus”. (Q.S. Al-Syura [42]: 73)
Kata hidayah yang dimuat pada ayat pertama —yang menjadi hak Allah Swt— tidak sama dengan muatan hidayah yang disebutkan dalam ayat kedua —yang menjadi hak Nabi Muhammad Saw untuk memberikannya. Yang demikian itu hanya dapat dipahami oleh orang-orang mukmin yang intelek yang dapat mengenal perbedaan antara Khalik dan makhluk. Jika tidak demikian, mestinya dikatakan: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar dapat memberi hidayah, dengan cara memberi petunjuk [irsyad)”; atau dikatakan: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar dapat memberi hidayah yang bukan seperti hidayah yang Kami (Allah) berikan”. Tetapi ungkapan seperti itu ternyata tidak terjadi. Yang terjadi adalah penyebutan kata hidayah secara mutlak, tanpa keterangan apa-apa, tanpa syarat dan kayyid atau suatu ikatan. Orang yang bertauhid, di antara kita kaum mukminin yang menjadi sasaran ayat Al-Qur’an, akan dapat memahami makna-makna yang dikandung berbagai kata Al-Qur’an, serta mengetahui pula perbedaan kandungan atau muatannya, baik yang dinisbatkan kepada Allah —Sang Khalik— maupun yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai makhluk-Nya.
Mirip seperti hak memberi hidayah adalah penyifatan Rasulullah Saw dengan sifat-sifat yang —menurut hakikatnya— menjadi sifat bagi Allah Swt, seperti menyifatinya dengan sifat ra’fah [lemah­lembul/santun) dan rahmah (penyayang), sebagaimana dalam firmannya: “Dan adalah ia (Rasulullah Saw) sangat penyantun dan penyayang kepada orang-orang mukmin”. (Q.S. Al-taubah [9]: 128) Allah Swt juga menyifati Diri-Nya dengan kedua sifat tersebut dalam berbagai ayat. Satu hal yang pasti diketahui dan disadari oleh orang yang bertauhid adalah bahwa apa yang menjadi sifat Nabi Muhammad Saw —seperti penyantun dan penyayang— tidak akan sama dengan apa yang menjadi sifat Allah Swt sebagai Khalik. 
Ketika menyifati Nabi-Nya dengan kedua sifat tersebut dan sifat-sifat mulia lainnya, Allah Swt menyebutkannya secara mutlak, tanpa syarat dan kayyid atau tanpa keterangan. Karena, yang menjadi sasaran firman-Nya adalah manusia mukmin yang berjiwa tauhid. Mereka pasti dapat membedakan apa yang menjadi sifat makhluk dan apa yang menjadi sifat Khalik. Jika tidak karena pertimbangan seperti itu, maka ungkapan katanya —ketika Allah menyifati Nabi-Nya— akan berbunyi: “(Nabi Muhammad itu) ra’uf bi-ra’fatin ghayri ra’fatina wa rahim bi rahmatin ghayri rahmatina, (Nabi Muhammad itu) menaruh kasihan dengan belas kasihan yang tidak seperti belas kasihan Kami, dan penyayang dengan rasa sayang yang tidak seperti rasa sayang Kami”. Atau, mungkin dikatakan: “(Nabi Muhammad itu) menaruh belas kasihan dengan rasa belas kasihan khusus dan penyayang dengan rasa sayang yang khusus”. Atau mungkin dikatakan: “Ia sangat belas kasihan —dengan rasa belas kasihan manusiawi— dan sangat penyayang —dengan rasa sayang manusiawi.” Tetapi yang terjadi tidak seperti itu. Di dalam firman-Nya, justru disebutkan secara mutlak bahwa Nabi Muhammad Saw adalah ra’uf, sangat belas kasihan —kepada orang-orang mukmin— dan rahim sangat penyayang”. (Q:S. 9:128) 

-- 0 0 0 -­