Senin, 30 Agustus 2010

Nafkah Istri

Memberikan nafkah kepada isteri adalah kewajiban seorang suami yang berarti ia menjadi hak istri. Diantara dalil-dalilnya adalah :
1. Firman Allah swt,”Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 233)
2. Firman Allah swt,”Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu “ (Ath Thalaq : 6)
3. Sabda Rasulullah saw,”Hendaklah kamu memberinya makan tatkala kamu makan, dan memberinya pakaian tatkala kamu berpakaian.” (HR. Abu Daud)
Namun demikian ada beberapa persyaratan bagi seorang istri yang berhak mendapatkan nafkah dari suaminya :
1. Ikatan perkawinan yang sah.
2. Menyerahkan dirinya kepada suaminya.
3. Suaminya dapat menikmati dirinya.
4. Kedua-duanya saling menikmati.
Jika salah satu dari syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka ia tidak wajib diberi nafkah. (Fiqhus Sunnah, edisi terjemah juz III hal 57)
Memang tidak disebutkan didalam ayat-ayat yang mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya tentang kadar atau besarnya jumlah nafkah yang harus diberikannya. Kadar dan besaran nafkah ini dikembalikan kepada kemampuan masing-masing suami dan kebiasaan yang ada di masyarakatnya, sebagaimana firman Allah swt,”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”(QS. Ath Thalaq : 7)
Sesuai dengan kemampuan yang ada didalam ayat itu bukan berarti seorang suami bisa seenaknya saja memberikan nafkahnya kepada istri, padahal istrinya telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkannya. Jika hal ini terjadi maka ini adalah suatu bentuk kezhaliman suami.
Besaran nafkah suami kepada istrinya tentunya juga harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi si suami. Besaran seorang suami yang miskin tentunya berbeda dengan yang menengah atau kaya. Semakin mapan ekonomi suami maka dia harus semakin memberikan kesejahtaraan, baik kualitas makanan, pakaian dan juga tempat tinggal kepada istrinya, begitu pula sebaliknya.
Perubahan harga-harga kebutuhan sembako pun harus menjadi perhitungan para suami didalam menentukan besaran nafkahnya kepada para istrinya. Tidak dibenarkan seorang suami yang berekonomi menengah atau kaya memberikan nafkah kepada istrinya seperti orang yang miskin. Begitu pula dengan tidak dibenarkannya seorang istri yang menuntut nafkahnya seperti orang kaya padahal suaminya miskin.
Suami yang memberikan nafkah kepada istrinya jauh dibawah kemampuan sebenarnya maka ia dianggap bakhil dan diperbolehkan bagi istrinya untuk mengambil harta (uang ) suami tanpa seizinnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa Hindun binti Utbah mengatakan,”Wahai Rasulullah saw, sesungguhnya Abi Sofyan itu orang yang bakhil, ia tidak mencukupi kebutuhanku dan anakku kecuali aku menagmbil (uang) darinya pada saat dia tidak mengetahuinya. Maka Rasulullah bersabda,’Ambillah dari harta Abi Sofyan sesuai kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhori)
Dari hadits itu pun bisa disimpulkan bahwa istri diperbolehkan menuntut suaminya manakala ia tidak memenuhi kewajibannya memberikan nafkah kepadanya sesuai dengan taraf ekonominya. Bahkan dibenarkan seorang istri meminta kepada Hakim untuk menentukan besaran nafkahnya manakala memang hal itu terjadi.
Dari penjelasan diatas maka terhadap permasalahan yang anda ajukan :
1. Jika tuntutan nafkah yang diajukan istri kepada suami memang sesuai dengan kemampuan ekonomi suami namun ia tidak memenuhinya secara sengaja bukan dikarenakan ada suatu musibah yang mengakibatkan penghasilannya menurun di bulan-bulan itu maka ini adalah kezaliman darinya dan si istri berhak menuntutnya ke pengadilan karena nafkah yang tidak dipenuhi itu adalah utang baginya atas istrinya. Dan alangkah baiknya didahului dengan memberikan nasehat penyadaran dan peringatan sebelum melangkah ke pengadilan.
2. Namun jika yang dituntut si istri tidaklah lazim atau melebihi batas kemampuan ekonomi suami maka perjanjian itu tidaklah dibenarkan, berdasarkan firman Allah swt,”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”(QS. Ath Thalaq : 7)

Dan isi kesepakatan tersebut haruslah dikoreksi dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi suami.